Rabu, 02 Juli 2014

A Story in Sungai Rengas; Kembali 1



               Pohon-pohon itu hilang. Rumput hijau menyusut. Padang ilalang di atas bukit sudah jarang terlihat. Hanya tanah merah padat yang mendominasi. Suasana desa ini sudah sangat jauh berubah.
               Kebahagiaan yang tumbuh karena kembali ke tempat kelahiran menguap. Padahal aku sangat menantikan kesempatan ini. Sepuluh tahun jauh di rantau menimbulkan rasa rindu tersendiri.
               Aku kecewa. Walau bangga juga karena sudah tersedia bangunan SMP dan SMA. Namun tidak bisa menghapus kesedihan melihat keadaan sekitar.
               Dulu hanya ada satu bangunan sekolah di bawah bukit, dekat sungai. Sebuah Sekolah Dasar yang berdiri di atas tanah bekas hutan.
Halaman belakang sekolah masih dipenuhi pohon-pohon. Setiap istirahat siang kami biasa main di sana. Entah sekedar duduk bercerita di atas batang pohon yang tumbang atau mencari buah-buahan hutan yang bisa di makan.
Terkadang juga bermain di bawah bangunan sekolah. Tiang penyangga bangunan yang tinggi memungkinkan kami untuk berada di sana. Biasanya untuk memancing kutu tanah dengan sehelai rambut yang ujungnya diikat seekor kutu tanah yang lain sebagai umpan.
Seandainya bosan, selepas pulang sekolah diam-diam salah satu diantara kami akan masuk ke ruang kelas empat yang jendelanya sudah pecah lama dan tidak pernah diganti. Dari sana dia memanjat dinding; menyeberang ke kelas lima, lalu ke kelas enam, dan terakhir ruang guru. Dia bertugas mencari bola kasti atau voli yang disimpan dalam lemari khusus tempat peralatan olahraga berada.
Kami tidak mencuri. Hanya meminjam sebentar kemudian dikembalikan lagi selepas bermain.
Kalau tidak, kami akan pergi ke sungai belakang rumah dinas yang orang tuaku tempati. Tanah kosong cukup luas di tepi sungai  kami manfaatkan untuk membangun pondokan dari batang pohon sebesar lengan yang bisa di dapat di sana. Pondokan berbentuk segiempat dengan lantai papan sisa membangun rumah. Dindingnya dari daun kelapa dan atapnya daun pisang.
Biasanya kami juga memasak ikan hasil pancingan di sana. Memasak yang sebenarnya. Dengan tungku dari batu kecil yang disusun menjadi tiga sudut. Kayu bakarnya dari ranting pohon kering yang banyak berserakan. Panci tempat memasak dari kaleng susu. Kuali dari tutup kaleng. Sedangkan sendok dari sirap atap rumah.
Sembunyi-sembunyi kami ambil bumbu-bumbu dapur dan minyak goreng dari dapur rumah masing-masing. Tidak boleh sampai ketahuan karena kami dilarang main menggunakan api. Para orang tua takut kami lupa mematikan api sehingga menyebabkan kebakaran hutan.
Juga sangat menyenangkan jika musim buah-buahan tiba. Ketika musim buah mangga, kami akan memanjat pohon mangga yang ada di belakang kelas empat. Saat musim buah jambu air, kami sibuk memanjat pohonnya yang tumbuh di belakang kantor guru. Jika musim rambutan, kami akan memanjat pohon rambutan yang tumbuh di samping kelas satu, dekat lapangan voli.
Di sini, di desa Sungai Rengas—Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang—ini aku mendapat kenangan masa kecil yang menyenangkan. Sayang sekali itu hanya tinggal kenangan.
Sekarang aku sedang berdiri di depan bangunan SMA yang didirikan di atas bukit. Sekitar 200 meter dari lokasi Sekolah Dasarku dulu.  Sekolah ini dibangun tepat di atas lapangan kosong yang dulu digunakan sebagai lapangan bola. Sisi lain lapangan didirikan bangunan SMP.
Saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di sekitar lapangan bola yang sudah dibangun SMP dan SMA ini tumbuh hamparan ilalang. Terdapat jalan setapak melewati padang ilalang menuju ladang pindah milik orang tuaku.
Ladang pindah sekaligus kebun di atas bukit. Dibuka dengan membakar semak belukar. Diganti dengan tumbuhan padi, jagung, singkong, ubi rambat, labu kuning, labu air, cabai, tomat, dan tebu.
Namun kini ilalang sudah berganti menjadi rumah. Bekas ladang digunakan untuk menanam kelapa sawit.
Ah, tidak hanya di sana. Tapi sepanjang tepi jalanan desa ini penuh dengan kelapa sawit. Tumbuhan yang tidak kusukai.
Bede dengan yang dolok ye, Sa—Beda dari yang dulu ya, Sa.” Om Bet, guru agamaku ketika SD tiba-tiba berkata begitu, memutus lamunanku.
Om Bet merupakan sahabat sepropesi bagi Umak dan Bapak. Sama-sama merantau membuat mereka sudah seperti keluarga.
Kata “Bet” berasal dari kata “Bat” yang berarti kelelawar. Bukan karena beliau sering berkeliaran malam, melainkan warna kulit yang gelap membuatnya memiliki panggilan itu.
Berbeda dengan orang tuaku yang sudah pindah ke Kabupaten Kota, Om Bet menetap di desa ini setelah menikah dengan Anis1 Ha. Wanita penduduk asli yang menjagaku waktu bayi kalau Umak dan Bapak mengajar.
Om Bet masih mengajar sebagai guru agama di Sekolah Dasarku yang dulu. Namun sekarang merangkap sebagai Imam Masjid Desa. Aku meminta beliau untuk menemani melihat bangunan dan llingkungan SMA tempatku bertugas mulai lusa.
Aok, Om—iya, Om. Mun dolok te masih banyak ijonye—kalau dulu masih banyak hijaunya.” Aku tersenyum miris menanggapi ucapan beliau.
“Banyak yang berubah. Disatu sisi positif, tapi dari sisi yang lain negatif.” Masih menggunakan bahasa daerah Om Bet berkata sambil melihat sekitar.
Om Bet benar. Jalan menuju desa Sungai Rengas sekarang sudah bagus dan lebar. Bahkan jalan utama menjadi jalan “Trans Kalimantan”. Sejenis jalan bebas hambatan di Kalimantan. Selain itu juga menjadi jalan alternatif dari Kabupaten Ketapang menuju Ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
“Sejak kapan begini, Om?” tanyaku penasaran.
“Hampir 10 tahun.”
Aku menghela napas berat. Sudah cukup lama. Sejak aku memasuki bangku kuliah.
“Sara benci suasana ini, Om. Gersang.”
Om Bet tertawa kecil. “Siapa yang suka daerahnya menjadi gersang begini, Sara. Kalau bisa memilih, Om lebih suka desa kita yang dulu.”
“Penduduk desa yang suka, Om. Nyatanya mereka menjual tanah pada pemilik Perusahaan Kelapa Sawit.” Sinisku. “Apa mereka tidak berpikir seperti apa jadinya nanti daerah ini? Seharusnya bisa berkaca pada Tembelina2 yang sudah seperti kota mati semenjak Perusahaan Kelapa Sawit di sana mengalami kemunduran. Kering, gersang, dan ditinggal begitu saja.”
Om Bet tersenyum menanggapi komentarku yang menggebu. Beliau tidak mengatakan apapun lagi. Seperti tahu aku akan terus mendebat jika beliau masih buka suara.
Angin semilir mempermainkan jilbabku yang lebar. Sejuk dan nyaman. Untuk beberapa menit kami hanya berdiam diri memandangi sekitar.
“Ayo kembali ke rumah, Om. Pasti Anis sudah menunggu untuk makan siang.”
Aku mengangguk. Mengikuti langkah Om Bet dari belakang. Menuju rumah beliau yang berjarak 30 meter dari sini.
Kami berjalan sambil bercerita tentang Deni, anak beliau. Juga menceritakan hal-hal lain yang berkaitan dengan orang-orang di masa kecilku.
~#~

               “Kau adak maok tinggal di senek e—kamu tidak mau tinggal di sini?” tanya Anis Ha setelah kami duduk di ruang tengah sambil menonton Tv selepas makan siang dan salat dzuhur. “Rumah ini sepi. Hanya tinggal Om kamu dan Anis. Deni kuliah di Pontianak.”
               “Kata Kepala Sekolahnya tadi malam, Sara bisa tinggal di rumah dinas. Berbagi tempat dengan salah satu guru wanita yang masih tinggal sendiri.”
               “Rumah dinas yang ditempati Bu Klo berarti,” ujar Anis Ha.
               “Hah? Klo?” aku bingung mendengar nama guru yang dimaksud.
               Belum sempat Anis Ha menjawab terdengar salam dari luar. Om Bet baru pulang dari masjid. Kami pun menjawab salam.
               “Iya ... Bu Klo,” jawab Anis Ha selepas menjawab salam.
               “Chlo ... C-H-L-O. Namanya Chlorophyta,” jelas Om Bet melihat wajahku yang kebingungan.
               Aku melongo mendengar penjelasan Om Bet. Ternyata ada di dunia orang bernama Chloropyta. Seperti nama ilmiah suatu benda.
               “Memangnya Chlo sudah setuju berbagi tempat tinggal?” tanya Om Bet mengabaikan rupaku yang bodoh sembari duduk, bergabung dengan kami.
               Aku menggedikkan bahu.
               “Sepertinya tidak akan mau, Sa. Bu Klo itu angkuh. Bergaul dengan penduduk saja susah.” Anis Ha menunjukkan ekspresi tidak suka ketika mengatakan itu.
               “Sara coba dulu saja, Nis. In Shaa Allah bisa. Itu sudah jadi keputusan Kepala Sekolah, ‘kan? Dia pasti tidak mampu protes.”
               “Mudah-mudahan, aamiin! Kalau Bu Klo menolak, tinggal di sini saja.”
               Aku tertawa. “Sip, Nis!”
               Anis Ha mengangguk bahagia. Kemudian bergerak ke dapur membuat teh hangat, lalu kembali ke ruang tengah dengan tiga cangkir teh dan sepiring penganan.
               Tanpa terasa pembicaraan berlanjut sampai memasuki waktu salat ashar. Om Bet pamit ke masjid lagi, sedangkan Anis Ha dan aku salat berjama’ah di rumah.
~#~

               Hari sudah mulai gelap. Bayangan sudah semakin panjang ke timur. Setelah merasa cukup bercengkrama dengan Om Bet dan Anis Ha, kuputuskan untuk pergi ke rumah dinas yang dimaksudkan Kepala Sekolah.
               Jaraknya tidak terlalu jauh dari bangunan SMA. Hanya sekitar sepuluh meter ke utara. Naik ke dataran yang lebih tinggi.
               Seorang wanita cantik berusia kurang lebih 27 tahun muncul dari balik pintu yang kuketuk. Wajahnya dipoles dengan apik. Rambut terawat yang terurai panjang. Pakaiannya juga modis dan rapi.
               Matanya menatapku teliti. Lalu terpaku pada koper yang kuletakkan dekat kaki.
               “Kamu guru baru itu?” tanyanya tak bersahabat.
               Aku mengangguk. “Iya.”
               “Aku sudah bilang kepada Kepala Sekolah kalau tidak berminat berbagi rumah dengan orang lain. Apa kamu tidak diberitahu?”
               “Beliau hanya mengatakan kalau saya bisa tinggal di sini,” jawabku seadanya.
               “Lebih baik kamu cari penginapan Bu Guru.” Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada. “Aku tidak menerima tamu yang menginap.”
               “Tapi Kepala Sekolah bilang ....”
               “Pak Botak sialan itu!” makinya membuatku reflek beristigrfar. “Hubungi dia kamu belum punya tempat tinggal!”
               Perintah terakhir sebelum dia menutup pintu dengan kasar di depan mukaku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Jadi yang dikatakan Anis Ha itu benar. Dia wanita yang sombong.
               Sayang sekali! Padahal dia cantik dan memiliki tubuh yang proposional.
               Kuambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi nomor telepon Pak Kepala Sekolah. Pak Kepala Sekolah memintaku tenang setelah mendengar apa yang terjadi. Dia berkata akan segera menyelesaikan masalah tempat tinggal ini.
               Aku memutuskan menunggu. Duduk di tangga teras sekolah dalam diam.
               Tidak ada masalah. Aku sangat tenang. Jika Pak Kepala Sekolah gagal mencarikan tempat tinggal, aku hanya perlu kembali ke rumah Om Bet dan Anis Ha. Mereka pasti memberiku tumpangan tempat tinggal dengan tangan terbuka.
               “Hei, kamu!” suara wanita tadi terdengar meneriakiku dari teras rumah dinas. “Ayo kemari, kita harus bicara!”
               Aku segera berjalan menghampirinya. Berhenti tepat dihadapannya dan menunggu.
“Masuk!”
Kuikuti langkahnya masuk ke ruang tamu.
“Dengar! Aku tidak mengerti mengapa si Botak Sialan itu ngotot menempatkan kita dalam satu rumah. Padahal aku sudah membayar sewa khusus rumah ini. seharusnya dia bisa menempatkanmu di rumah dinas SMP atau SD.” Dia mengomel sepenuh hati. “Karena itu aku terpaksa menerimamu di rumah ini. Tapi di sini hanya ada dua kamar. Kamar depan itu kamarku dan kamar belakang itu gudang. Kamu tidak akan bisa tidur di sana malam ini. jadi kita boleh tidur sekamar. Hanya saja sebelum kamu masuk ke sana dan ke dapur. Kamu harus berjanji satu hal ...”
Aku diam. Memutuskan untuk tidak mengatakan apapun terlebih dahulu.
“... Kamu harus berjanji tidak akan mengatakan apapun yang kamu lihat pada siapapun. Deal?”
“Apapun yang aku lihat?” tanyaku bingung. “Apa kamu memelihara jin?”
Dia berdecak gemas. “Apa aku mengatakan begitu?”
Aku menggeleng.
“Lalu apa maksud pertanyaanmu?”
Aku kembali memilih diam.
Dia merubah posisi duduknya agar lebih nyaman. Terbatuk kecil sebelum berkata, “Jadi, apa kamu bisa melakukannya? Deal?”
“Baiklah ... Deal!” ujarku setuju.
Dia terlihat lega mendengarnya. “Oke. Ingat! Kita sudah sepakat. Sekarang terserah kamu mau melakukan apa. Aku ingin istirahat.”
Wanita itu langsung pergi setelah mengatakan itu. Sepertinya masalah tempat tinggal sudah beres. Jadi aku akan tetap tinggal dengan wanita itu. Semoga dia tidak mengacau selama kami tinggal bersama. Aamiin!
~#~

Tidak perlu menunggu lima menit aku langsung tahu apa alasan wanita itu memaksaku berjanji. Siapapun tidak akan menyangka hal apa yang aku lihat sekarang. Aku sendiri bertanya-tanya bagaimana wanita secantik dan semodis itu hidup seperti ini?
               Kamarnya bau apek baju kotor yang menumpuk menunggu untuk dicuci. Sampah cemilan berserakan di lantai berbaur dengan helai rontokan rambut. Debu bisa langsung dirasakan ketika menginjakkan kaki di sini. Aksesoris pakaian seperti ikat pinggang tergeletak begitu saja di atas meja hias. Benar-benar berantakan!
               Itu belum seberapa dibandingkan dengan keadaan dapur. Piring kotor menumpuk di tempat pencucian piring. Bau busuk sisa makanan menyebar. Bahkan diatasnya hidup para belatung.
Di pojok dapur menumpuk plastik kresek tempat sampah. Mungkin sekitar sepuluh bundelan sampah yang tidak dibuang.
Meja dapur juga berlendir takpernah dibersihkan. Dan sisa minyak goreng menghitam di sela kompor dan dinding diatasnya.
Satu-satunya tempat bersih di bagian dapur ini hanya kamar mandi. Peralatan mandi yang lengkap tersusun rapi di dalam keranjang. Terdapat kaca kecil menggantung di dinding. Lantai keramik dan klosetnya mengkilap.
Aku menghela napas takpercaya. Kuhempaskan tubuhku ke atas kursi ruang tamu yang merupakan salah satu ruangan besar terawat selain teras. Kepalaku sangat pusing. Ini shock terapi yang hebat!
Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi mulai semenit kemudian. Aku harap bisa mengatasinya dengan baik seberat apapun itu.
Jaga dan pelihara hamba Ya Allah! Aamiin!
~#~
Catatan Kaki:
1.      Anis adalah panggilan untuk orang yang manis. Namun seiring waktu juga digunakan untuk memanggil orang yang lebih tua tanpa embel-embel “kakak”, “abang”, “bapak”, dan “emak”. Namun juga bisa dicampur dengan embel-embel tersebut seperti Mak Anis atau Pak Nis.
2.       Tembelina adalah nama sebuah desa di Kecamatan Sungai Melayu Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Bersambung....

              
              


              





Tidak ada komentar:

Posting Komentar