Pohon-pohon itu hilang. Rumput
hijau menyusut. Padang ilalang di atas bukit sudah jarang terlihat. Hanya tanah
merah padat yang mendominasi. Suasana desa ini sudah sangat jauh berubah.
Kebahagiaan yang tumbuh karena
kembali ke tempat kelahiran menguap. Padahal aku sangat menantikan kesempatan
ini. Sepuluh tahun jauh di rantau menimbulkan rasa rindu tersendiri.
Aku kecewa. Walau bangga juga
karena sudah tersedia bangunan SMP dan SMA. Namun tidak bisa menghapus
kesedihan melihat keadaan sekitar.
Dulu hanya ada satu bangunan
sekolah di bawah bukit, dekat sungai. Sebuah Sekolah Dasar yang berdiri di atas
tanah bekas hutan.
Halaman belakang sekolah masih dipenuhi pohon-pohon. Setiap istirahat siang
kami biasa main di sana. Entah sekedar duduk bercerita di atas batang pohon
yang tumbang atau mencari buah-buahan hutan yang bisa di makan.
Terkadang juga bermain di bawah bangunan sekolah. Tiang penyangga bangunan
yang tinggi memungkinkan kami untuk berada di sana. Biasanya untuk memancing
kutu tanah dengan sehelai rambut yang ujungnya diikat seekor kutu tanah yang
lain sebagai umpan.
Seandainya bosan, selepas pulang sekolah diam-diam salah satu diantara kami
akan masuk ke ruang kelas empat yang jendelanya sudah pecah lama dan tidak
pernah diganti. Dari sana dia memanjat dinding; menyeberang ke kelas lima, lalu
ke kelas enam, dan terakhir ruang guru. Dia bertugas mencari bola kasti atau
voli yang disimpan dalam lemari khusus tempat peralatan olahraga berada.
Kami tidak mencuri. Hanya meminjam sebentar kemudian dikembalikan lagi
selepas bermain.
Kalau tidak, kami akan pergi ke sungai belakang rumah dinas yang orang
tuaku tempati. Tanah kosong cukup luas di tepi sungai kami manfaatkan untuk membangun pondokan dari
batang pohon sebesar lengan yang bisa di dapat di sana. Pondokan berbentuk
segiempat dengan lantai papan sisa membangun rumah. Dindingnya dari daun kelapa
dan atapnya daun pisang.
Biasanya kami juga memasak ikan hasil pancingan di sana. Memasak yang
sebenarnya. Dengan tungku dari batu kecil yang disusun menjadi tiga sudut. Kayu
bakarnya dari ranting pohon kering yang banyak berserakan. Panci tempat memasak
dari kaleng susu. Kuali dari tutup kaleng. Sedangkan sendok dari sirap atap
rumah.
Sembunyi-sembunyi kami ambil bumbu-bumbu dapur dan minyak goreng dari dapur
rumah masing-masing. Tidak boleh sampai ketahuan karena kami dilarang main
menggunakan api. Para orang tua takut kami lupa mematikan api sehingga
menyebabkan kebakaran hutan.
Juga sangat menyenangkan jika musim buah-buahan tiba. Ketika musim buah mangga,
kami akan memanjat pohon mangga yang ada di belakang kelas empat. Saat musim
buah jambu air, kami sibuk memanjat pohonnya yang tumbuh di belakang kantor
guru. Jika musim rambutan, kami akan memanjat pohon rambutan yang tumbuh di
samping kelas satu, dekat lapangan voli.
Di sini, di desa Sungai Rengas—Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang—ini
aku mendapat kenangan masa kecil yang menyenangkan. Sayang sekali itu hanya
tinggal kenangan.
Sekarang aku sedang berdiri di depan bangunan SMA yang didirikan di atas
bukit. Sekitar 200 meter dari lokasi Sekolah Dasarku dulu. Sekolah ini dibangun tepat di atas lapangan
kosong yang dulu digunakan sebagai lapangan bola. Sisi lain lapangan didirikan
bangunan SMP.
Saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di sekitar lapangan bola yang
sudah dibangun SMP dan SMA ini tumbuh hamparan ilalang. Terdapat jalan setapak
melewati padang ilalang menuju ladang pindah milik orang tuaku.
Ladang pindah sekaligus kebun di atas bukit. Dibuka dengan membakar semak
belukar. Diganti dengan tumbuhan padi, jagung, singkong, ubi rambat, labu
kuning, labu air, cabai, tomat, dan tebu.
Namun kini ilalang sudah berganti menjadi rumah. Bekas ladang digunakan
untuk menanam kelapa sawit.
Ah, tidak hanya di sana. Tapi sepanjang tepi jalanan desa ini penuh dengan
kelapa sawit. Tumbuhan yang tidak kusukai.
“Bede dengan yang dolok ye, Sa—Beda
dari yang dulu ya, Sa.” Om Bet, guru agamaku ketika SD tiba-tiba berkata
begitu, memutus lamunanku.
Om Bet merupakan sahabat sepropesi bagi Umak dan Bapak. Sama-sama merantau
membuat mereka sudah seperti keluarga.
Kata “Bet” berasal dari kata “Bat” yang berarti kelelawar. Bukan karena
beliau sering berkeliaran malam, melainkan warna kulit yang gelap membuatnya
memiliki panggilan itu.
Berbeda dengan orang tuaku yang sudah pindah ke Kabupaten Kota, Om Bet
menetap di desa ini setelah menikah dengan Anis1 Ha. Wanita penduduk
asli yang menjagaku waktu bayi kalau Umak dan Bapak mengajar.
Om Bet masih mengajar sebagai guru agama di Sekolah Dasarku yang dulu.
Namun sekarang merangkap sebagai Imam Masjid Desa. Aku meminta beliau untuk
menemani melihat bangunan dan llingkungan SMA tempatku bertugas mulai lusa.
“Aok, Om—iya, Om. Mun dolok te masih banyak ijonye—kalau
dulu masih banyak hijaunya.” Aku tersenyum miris menanggapi ucapan beliau.
“Banyak yang berubah. Disatu sisi positif, tapi dari sisi yang lain
negatif.” Masih menggunakan bahasa daerah Om Bet berkata sambil melihat
sekitar.
Om Bet benar. Jalan menuju desa Sungai Rengas sekarang sudah bagus dan
lebar. Bahkan jalan utama menjadi jalan “Trans Kalimantan”. Sejenis jalan bebas
hambatan di Kalimantan. Selain itu juga menjadi jalan alternatif dari Kabupaten
Ketapang menuju Ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
“Sejak kapan begini, Om?” tanyaku penasaran.
“Hampir 10 tahun.”
Aku menghela napas berat. Sudah cukup lama. Sejak aku memasuki bangku
kuliah.
“Sara benci suasana ini, Om. Gersang.”
Om Bet tertawa kecil. “Siapa yang suka daerahnya menjadi gersang begini,
Sara. Kalau bisa memilih, Om lebih suka desa kita yang dulu.”
“Penduduk desa yang suka, Om. Nyatanya mereka menjual tanah pada pemilik
Perusahaan Kelapa Sawit.” Sinisku. “Apa mereka tidak berpikir seperti apa
jadinya nanti daerah ini? Seharusnya bisa berkaca pada Tembelina2
yang sudah seperti kota mati semenjak Perusahaan Kelapa Sawit di sana mengalami
kemunduran. Kering, gersang, dan ditinggal begitu saja.”
Om Bet tersenyum menanggapi komentarku yang menggebu. Beliau tidak
mengatakan apapun lagi. Seperti tahu aku akan terus mendebat jika beliau masih
buka suara.
Angin semilir mempermainkan jilbabku yang lebar. Sejuk dan nyaman. Untuk
beberapa menit kami hanya berdiam diri memandangi sekitar.
“Ayo kembali ke rumah, Om. Pasti Anis sudah menunggu untuk makan siang.”
Aku mengangguk. Mengikuti langkah Om Bet dari belakang. Menuju rumah beliau
yang berjarak 30 meter dari sini.
Kami berjalan sambil bercerita tentang Deni, anak beliau. Juga menceritakan
hal-hal lain yang berkaitan dengan orang-orang di masa kecilku.
~#~
“Kau adak maok tinggal
di senek e—kamu tidak mau tinggal di sini?” tanya Anis Ha setelah kami duduk di
ruang tengah sambil menonton Tv selepas makan siang dan salat dzuhur. “Rumah
ini sepi. Hanya tinggal Om kamu dan Anis. Deni kuliah di Pontianak.”
“Kata Kepala Sekolahnya
tadi malam, Sara bisa tinggal di rumah dinas. Berbagi tempat dengan salah satu
guru wanita yang masih tinggal sendiri.”
“Rumah dinas yang
ditempati Bu Klo berarti,” ujar Anis Ha.
“Hah? Klo?” aku bingung
mendengar nama guru yang dimaksud.
Belum sempat Anis Ha
menjawab terdengar salam dari luar. Om Bet baru pulang dari masjid. Kami pun
menjawab salam.
“Iya ... Bu Klo,” jawab
Anis Ha selepas menjawab salam.
“Chlo ... C-H-L-O.
Namanya Chlorophyta,” jelas Om Bet melihat wajahku yang kebingungan.
Aku melongo mendengar
penjelasan Om Bet. Ternyata ada di dunia orang bernama Chloropyta. Seperti nama
ilmiah suatu benda.
“Memangnya Chlo sudah
setuju berbagi tempat tinggal?” tanya Om Bet mengabaikan rupaku yang bodoh
sembari duduk, bergabung dengan kami.
Aku menggedikkan bahu.
“Sepertinya tidak akan
mau, Sa. Bu Klo itu angkuh. Bergaul dengan penduduk saja susah.” Anis Ha
menunjukkan ekspresi tidak suka ketika mengatakan itu.
“Sara coba dulu saja,
Nis. In Shaa Allah bisa. Itu sudah
jadi keputusan Kepala Sekolah, ‘kan? Dia pasti tidak mampu protes.”
“Mudah-mudahan, aamiin! Kalau Bu Klo menolak, tinggal di
sini saja.”
Aku tertawa. “Sip,
Nis!”
Anis Ha mengangguk
bahagia. Kemudian bergerak ke dapur membuat teh hangat, lalu kembali ke ruang
tengah dengan tiga cangkir teh dan sepiring penganan.
Tanpa terasa
pembicaraan berlanjut sampai memasuki waktu salat ashar. Om Bet pamit ke masjid
lagi, sedangkan Anis Ha dan aku salat berjama’ah di rumah.
~#~
Hari sudah mulai gelap.
Bayangan sudah semakin panjang ke timur. Setelah merasa cukup bercengkrama
dengan Om Bet dan Anis Ha, kuputuskan untuk pergi ke rumah dinas yang
dimaksudkan Kepala Sekolah.
Jaraknya tidak terlalu
jauh dari bangunan SMA. Hanya sekitar sepuluh meter ke utara. Naik ke dataran
yang lebih tinggi.
Seorang wanita cantik
berusia kurang lebih 27 tahun muncul dari balik pintu yang kuketuk. Wajahnya
dipoles dengan apik. Rambut terawat yang terurai panjang. Pakaiannya juga modis
dan rapi.
Matanya menatapku
teliti. Lalu terpaku pada koper yang kuletakkan dekat kaki.
“Kamu guru baru itu?”
tanyanya tak bersahabat.
Aku mengangguk. “Iya.”
“Aku sudah bilang
kepada Kepala Sekolah kalau tidak berminat berbagi rumah dengan orang lain. Apa
kamu tidak diberitahu?”
“Beliau hanya
mengatakan kalau saya bisa tinggal di sini,” jawabku seadanya.
“Lebih baik kamu cari
penginapan Bu Guru.” Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada. “Aku
tidak menerima tamu yang menginap.”
“Tapi Kepala Sekolah
bilang ....”
“Pak Botak sialan itu!”
makinya membuatku reflek beristigrfar. “Hubungi dia kamu belum punya tempat
tinggal!”
Perintah terakhir
sebelum dia menutup pintu dengan kasar di depan mukaku. Aku hanya bisa
geleng-geleng kepala. Jadi yang dikatakan Anis Ha itu benar. Dia wanita yang
sombong.
Sayang sekali! Padahal
dia cantik dan memiliki tubuh yang proposional.
Kuambil ponsel dari
dalam tas dan menghubungi nomor telepon Pak Kepala Sekolah. Pak Kepala Sekolah
memintaku tenang setelah mendengar apa yang terjadi. Dia berkata akan segera
menyelesaikan masalah tempat tinggal ini.
Aku memutuskan
menunggu. Duduk di tangga teras sekolah dalam diam.
Tidak ada masalah. Aku
sangat tenang. Jika Pak Kepala Sekolah gagal mencarikan tempat tinggal, aku
hanya perlu kembali ke rumah Om Bet dan Anis Ha. Mereka pasti memberiku
tumpangan tempat tinggal dengan tangan terbuka.
“Hei, kamu!” suara
wanita tadi terdengar meneriakiku dari teras rumah dinas. “Ayo kemari, kita
harus bicara!”
Aku segera berjalan
menghampirinya. Berhenti tepat dihadapannya dan menunggu.
“Masuk!”
Kuikuti langkahnya masuk ke ruang tamu.
“Dengar! Aku tidak mengerti mengapa si Botak
Sialan itu ngotot menempatkan kita dalam satu rumah. Padahal aku sudah membayar
sewa khusus rumah ini. seharusnya dia bisa menempatkanmu di rumah dinas SMP
atau SD.” Dia mengomel sepenuh hati. “Karena itu aku terpaksa menerimamu di
rumah ini. Tapi di sini hanya ada dua kamar. Kamar depan itu kamarku dan kamar
belakang itu gudang. Kamu tidak akan bisa tidur di sana malam ini. jadi kita
boleh tidur sekamar. Hanya saja sebelum kamu masuk ke sana dan ke dapur. Kamu
harus berjanji satu hal ...”
Aku diam. Memutuskan untuk tidak mengatakan apapun
terlebih dahulu.
“... Kamu harus berjanji tidak akan mengatakan
apapun yang kamu lihat pada siapapun. Deal?”
“Apapun yang aku lihat?” tanyaku bingung. “Apa
kamu memelihara jin?”
Dia berdecak gemas. “Apa aku mengatakan begitu?”
Aku menggeleng.
“Lalu apa maksud pertanyaanmu?”
Aku kembali memilih diam.
Dia merubah posisi duduknya agar lebih nyaman.
Terbatuk kecil sebelum berkata, “Jadi, apa kamu bisa melakukannya? Deal?”
“Baiklah ...
Deal!” ujarku setuju.
Dia terlihat lega mendengarnya. “Oke. Ingat! Kita
sudah sepakat. Sekarang terserah kamu mau melakukan apa. Aku ingin istirahat.”
Wanita itu langsung pergi setelah mengatakan itu. Sepertinya
masalah tempat tinggal sudah beres. Jadi aku akan tetap tinggal dengan wanita
itu. Semoga dia tidak mengacau selama kami tinggal bersama. Aamiin!
~#~
Tidak perlu menunggu lima menit aku langsung tahu
apa alasan wanita itu memaksaku berjanji. Siapapun tidak akan menyangka hal apa
yang aku lihat sekarang. Aku sendiri bertanya-tanya bagaimana wanita secantik
dan semodis itu hidup seperti ini?
Kamarnya bau apek baju
kotor yang menumpuk menunggu untuk dicuci. Sampah cemilan berserakan di lantai
berbaur dengan helai rontokan rambut. Debu bisa langsung dirasakan ketika
menginjakkan kaki di sini. Aksesoris pakaian seperti ikat pinggang tergeletak
begitu saja di atas meja hias. Benar-benar berantakan!
Itu belum seberapa
dibandingkan dengan keadaan dapur. Piring kotor menumpuk di tempat pencucian
piring. Bau busuk sisa makanan menyebar. Bahkan diatasnya hidup para belatung.
Di pojok dapur menumpuk plastik kresek tempat
sampah. Mungkin sekitar sepuluh bundelan sampah yang tidak dibuang.
Meja dapur juga berlendir takpernah dibersihkan.
Dan sisa minyak goreng menghitam di sela kompor dan dinding diatasnya.
Satu-satunya tempat bersih di bagian dapur ini
hanya kamar mandi. Peralatan mandi yang lengkap tersusun rapi di dalam
keranjang. Terdapat kaca kecil menggantung di dinding. Lantai keramik dan
klosetnya mengkilap.
Aku menghela napas takpercaya. Kuhempaskan tubuhku
ke atas kursi ruang tamu yang merupakan salah satu ruangan besar terawat selain
teras. Kepalaku sangat pusing. Ini shock terapi yang hebat!
Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi mulai
semenit kemudian. Aku harap bisa mengatasinya dengan baik seberat apapun itu.
Jaga dan pelihara hamba Ya Allah! Aamiin!
~#~
Catatan Kaki:
1.
Anis
adalah panggilan untuk orang yang manis. Namun seiring waktu juga digunakan
untuk memanggil orang yang lebih tua tanpa embel-embel “kakak”, “abang”,
“bapak”, dan “emak”. Namun juga bisa dicampur dengan embel-embel tersebut
seperti Mak Anis atau Pak Nis.
2.
Tembelina adalah nama sebuah desa di Kecamatan
Sungai Melayu Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Bersambung....