Rabu, 02 Juli 2014

A Story in Sungai Rengas; Kembali 1



               Pohon-pohon itu hilang. Rumput hijau menyusut. Padang ilalang di atas bukit sudah jarang terlihat. Hanya tanah merah padat yang mendominasi. Suasana desa ini sudah sangat jauh berubah.
               Kebahagiaan yang tumbuh karena kembali ke tempat kelahiran menguap. Padahal aku sangat menantikan kesempatan ini. Sepuluh tahun jauh di rantau menimbulkan rasa rindu tersendiri.
               Aku kecewa. Walau bangga juga karena sudah tersedia bangunan SMP dan SMA. Namun tidak bisa menghapus kesedihan melihat keadaan sekitar.
               Dulu hanya ada satu bangunan sekolah di bawah bukit, dekat sungai. Sebuah Sekolah Dasar yang berdiri di atas tanah bekas hutan.
Halaman belakang sekolah masih dipenuhi pohon-pohon. Setiap istirahat siang kami biasa main di sana. Entah sekedar duduk bercerita di atas batang pohon yang tumbang atau mencari buah-buahan hutan yang bisa di makan.
Terkadang juga bermain di bawah bangunan sekolah. Tiang penyangga bangunan yang tinggi memungkinkan kami untuk berada di sana. Biasanya untuk memancing kutu tanah dengan sehelai rambut yang ujungnya diikat seekor kutu tanah yang lain sebagai umpan.
Seandainya bosan, selepas pulang sekolah diam-diam salah satu diantara kami akan masuk ke ruang kelas empat yang jendelanya sudah pecah lama dan tidak pernah diganti. Dari sana dia memanjat dinding; menyeberang ke kelas lima, lalu ke kelas enam, dan terakhir ruang guru. Dia bertugas mencari bola kasti atau voli yang disimpan dalam lemari khusus tempat peralatan olahraga berada.
Kami tidak mencuri. Hanya meminjam sebentar kemudian dikembalikan lagi selepas bermain.
Kalau tidak, kami akan pergi ke sungai belakang rumah dinas yang orang tuaku tempati. Tanah kosong cukup luas di tepi sungai  kami manfaatkan untuk membangun pondokan dari batang pohon sebesar lengan yang bisa di dapat di sana. Pondokan berbentuk segiempat dengan lantai papan sisa membangun rumah. Dindingnya dari daun kelapa dan atapnya daun pisang.
Biasanya kami juga memasak ikan hasil pancingan di sana. Memasak yang sebenarnya. Dengan tungku dari batu kecil yang disusun menjadi tiga sudut. Kayu bakarnya dari ranting pohon kering yang banyak berserakan. Panci tempat memasak dari kaleng susu. Kuali dari tutup kaleng. Sedangkan sendok dari sirap atap rumah.
Sembunyi-sembunyi kami ambil bumbu-bumbu dapur dan minyak goreng dari dapur rumah masing-masing. Tidak boleh sampai ketahuan karena kami dilarang main menggunakan api. Para orang tua takut kami lupa mematikan api sehingga menyebabkan kebakaran hutan.
Juga sangat menyenangkan jika musim buah-buahan tiba. Ketika musim buah mangga, kami akan memanjat pohon mangga yang ada di belakang kelas empat. Saat musim buah jambu air, kami sibuk memanjat pohonnya yang tumbuh di belakang kantor guru. Jika musim rambutan, kami akan memanjat pohon rambutan yang tumbuh di samping kelas satu, dekat lapangan voli.
Di sini, di desa Sungai Rengas—Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang—ini aku mendapat kenangan masa kecil yang menyenangkan. Sayang sekali itu hanya tinggal kenangan.
Sekarang aku sedang berdiri di depan bangunan SMA yang didirikan di atas bukit. Sekitar 200 meter dari lokasi Sekolah Dasarku dulu.  Sekolah ini dibangun tepat di atas lapangan kosong yang dulu digunakan sebagai lapangan bola. Sisi lain lapangan didirikan bangunan SMP.
Saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di sekitar lapangan bola yang sudah dibangun SMP dan SMA ini tumbuh hamparan ilalang. Terdapat jalan setapak melewati padang ilalang menuju ladang pindah milik orang tuaku.
Ladang pindah sekaligus kebun di atas bukit. Dibuka dengan membakar semak belukar. Diganti dengan tumbuhan padi, jagung, singkong, ubi rambat, labu kuning, labu air, cabai, tomat, dan tebu.
Namun kini ilalang sudah berganti menjadi rumah. Bekas ladang digunakan untuk menanam kelapa sawit.
Ah, tidak hanya di sana. Tapi sepanjang tepi jalanan desa ini penuh dengan kelapa sawit. Tumbuhan yang tidak kusukai.
Bede dengan yang dolok ye, Sa—Beda dari yang dulu ya, Sa.” Om Bet, guru agamaku ketika SD tiba-tiba berkata begitu, memutus lamunanku.
Om Bet merupakan sahabat sepropesi bagi Umak dan Bapak. Sama-sama merantau membuat mereka sudah seperti keluarga.
Kata “Bet” berasal dari kata “Bat” yang berarti kelelawar. Bukan karena beliau sering berkeliaran malam, melainkan warna kulit yang gelap membuatnya memiliki panggilan itu.
Berbeda dengan orang tuaku yang sudah pindah ke Kabupaten Kota, Om Bet menetap di desa ini setelah menikah dengan Anis1 Ha. Wanita penduduk asli yang menjagaku waktu bayi kalau Umak dan Bapak mengajar.
Om Bet masih mengajar sebagai guru agama di Sekolah Dasarku yang dulu. Namun sekarang merangkap sebagai Imam Masjid Desa. Aku meminta beliau untuk menemani melihat bangunan dan llingkungan SMA tempatku bertugas mulai lusa.
Aok, Om—iya, Om. Mun dolok te masih banyak ijonye—kalau dulu masih banyak hijaunya.” Aku tersenyum miris menanggapi ucapan beliau.
“Banyak yang berubah. Disatu sisi positif, tapi dari sisi yang lain negatif.” Masih menggunakan bahasa daerah Om Bet berkata sambil melihat sekitar.
Om Bet benar. Jalan menuju desa Sungai Rengas sekarang sudah bagus dan lebar. Bahkan jalan utama menjadi jalan “Trans Kalimantan”. Sejenis jalan bebas hambatan di Kalimantan. Selain itu juga menjadi jalan alternatif dari Kabupaten Ketapang menuju Ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
“Sejak kapan begini, Om?” tanyaku penasaran.
“Hampir 10 tahun.”
Aku menghela napas berat. Sudah cukup lama. Sejak aku memasuki bangku kuliah.
“Sara benci suasana ini, Om. Gersang.”
Om Bet tertawa kecil. “Siapa yang suka daerahnya menjadi gersang begini, Sara. Kalau bisa memilih, Om lebih suka desa kita yang dulu.”
“Penduduk desa yang suka, Om. Nyatanya mereka menjual tanah pada pemilik Perusahaan Kelapa Sawit.” Sinisku. “Apa mereka tidak berpikir seperti apa jadinya nanti daerah ini? Seharusnya bisa berkaca pada Tembelina2 yang sudah seperti kota mati semenjak Perusahaan Kelapa Sawit di sana mengalami kemunduran. Kering, gersang, dan ditinggal begitu saja.”
Om Bet tersenyum menanggapi komentarku yang menggebu. Beliau tidak mengatakan apapun lagi. Seperti tahu aku akan terus mendebat jika beliau masih buka suara.
Angin semilir mempermainkan jilbabku yang lebar. Sejuk dan nyaman. Untuk beberapa menit kami hanya berdiam diri memandangi sekitar.
“Ayo kembali ke rumah, Om. Pasti Anis sudah menunggu untuk makan siang.”
Aku mengangguk. Mengikuti langkah Om Bet dari belakang. Menuju rumah beliau yang berjarak 30 meter dari sini.
Kami berjalan sambil bercerita tentang Deni, anak beliau. Juga menceritakan hal-hal lain yang berkaitan dengan orang-orang di masa kecilku.
~#~

               “Kau adak maok tinggal di senek e—kamu tidak mau tinggal di sini?” tanya Anis Ha setelah kami duduk di ruang tengah sambil menonton Tv selepas makan siang dan salat dzuhur. “Rumah ini sepi. Hanya tinggal Om kamu dan Anis. Deni kuliah di Pontianak.”
               “Kata Kepala Sekolahnya tadi malam, Sara bisa tinggal di rumah dinas. Berbagi tempat dengan salah satu guru wanita yang masih tinggal sendiri.”
               “Rumah dinas yang ditempati Bu Klo berarti,” ujar Anis Ha.
               “Hah? Klo?” aku bingung mendengar nama guru yang dimaksud.
               Belum sempat Anis Ha menjawab terdengar salam dari luar. Om Bet baru pulang dari masjid. Kami pun menjawab salam.
               “Iya ... Bu Klo,” jawab Anis Ha selepas menjawab salam.
               “Chlo ... C-H-L-O. Namanya Chlorophyta,” jelas Om Bet melihat wajahku yang kebingungan.
               Aku melongo mendengar penjelasan Om Bet. Ternyata ada di dunia orang bernama Chloropyta. Seperti nama ilmiah suatu benda.
               “Memangnya Chlo sudah setuju berbagi tempat tinggal?” tanya Om Bet mengabaikan rupaku yang bodoh sembari duduk, bergabung dengan kami.
               Aku menggedikkan bahu.
               “Sepertinya tidak akan mau, Sa. Bu Klo itu angkuh. Bergaul dengan penduduk saja susah.” Anis Ha menunjukkan ekspresi tidak suka ketika mengatakan itu.
               “Sara coba dulu saja, Nis. In Shaa Allah bisa. Itu sudah jadi keputusan Kepala Sekolah, ‘kan? Dia pasti tidak mampu protes.”
               “Mudah-mudahan, aamiin! Kalau Bu Klo menolak, tinggal di sini saja.”
               Aku tertawa. “Sip, Nis!”
               Anis Ha mengangguk bahagia. Kemudian bergerak ke dapur membuat teh hangat, lalu kembali ke ruang tengah dengan tiga cangkir teh dan sepiring penganan.
               Tanpa terasa pembicaraan berlanjut sampai memasuki waktu salat ashar. Om Bet pamit ke masjid lagi, sedangkan Anis Ha dan aku salat berjama’ah di rumah.
~#~

               Hari sudah mulai gelap. Bayangan sudah semakin panjang ke timur. Setelah merasa cukup bercengkrama dengan Om Bet dan Anis Ha, kuputuskan untuk pergi ke rumah dinas yang dimaksudkan Kepala Sekolah.
               Jaraknya tidak terlalu jauh dari bangunan SMA. Hanya sekitar sepuluh meter ke utara. Naik ke dataran yang lebih tinggi.
               Seorang wanita cantik berusia kurang lebih 27 tahun muncul dari balik pintu yang kuketuk. Wajahnya dipoles dengan apik. Rambut terawat yang terurai panjang. Pakaiannya juga modis dan rapi.
               Matanya menatapku teliti. Lalu terpaku pada koper yang kuletakkan dekat kaki.
               “Kamu guru baru itu?” tanyanya tak bersahabat.
               Aku mengangguk. “Iya.”
               “Aku sudah bilang kepada Kepala Sekolah kalau tidak berminat berbagi rumah dengan orang lain. Apa kamu tidak diberitahu?”
               “Beliau hanya mengatakan kalau saya bisa tinggal di sini,” jawabku seadanya.
               “Lebih baik kamu cari penginapan Bu Guru.” Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada. “Aku tidak menerima tamu yang menginap.”
               “Tapi Kepala Sekolah bilang ....”
               “Pak Botak sialan itu!” makinya membuatku reflek beristigrfar. “Hubungi dia kamu belum punya tempat tinggal!”
               Perintah terakhir sebelum dia menutup pintu dengan kasar di depan mukaku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Jadi yang dikatakan Anis Ha itu benar. Dia wanita yang sombong.
               Sayang sekali! Padahal dia cantik dan memiliki tubuh yang proposional.
               Kuambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi nomor telepon Pak Kepala Sekolah. Pak Kepala Sekolah memintaku tenang setelah mendengar apa yang terjadi. Dia berkata akan segera menyelesaikan masalah tempat tinggal ini.
               Aku memutuskan menunggu. Duduk di tangga teras sekolah dalam diam.
               Tidak ada masalah. Aku sangat tenang. Jika Pak Kepala Sekolah gagal mencarikan tempat tinggal, aku hanya perlu kembali ke rumah Om Bet dan Anis Ha. Mereka pasti memberiku tumpangan tempat tinggal dengan tangan terbuka.
               “Hei, kamu!” suara wanita tadi terdengar meneriakiku dari teras rumah dinas. “Ayo kemari, kita harus bicara!”
               Aku segera berjalan menghampirinya. Berhenti tepat dihadapannya dan menunggu.
“Masuk!”
Kuikuti langkahnya masuk ke ruang tamu.
“Dengar! Aku tidak mengerti mengapa si Botak Sialan itu ngotot menempatkan kita dalam satu rumah. Padahal aku sudah membayar sewa khusus rumah ini. seharusnya dia bisa menempatkanmu di rumah dinas SMP atau SD.” Dia mengomel sepenuh hati. “Karena itu aku terpaksa menerimamu di rumah ini. Tapi di sini hanya ada dua kamar. Kamar depan itu kamarku dan kamar belakang itu gudang. Kamu tidak akan bisa tidur di sana malam ini. jadi kita boleh tidur sekamar. Hanya saja sebelum kamu masuk ke sana dan ke dapur. Kamu harus berjanji satu hal ...”
Aku diam. Memutuskan untuk tidak mengatakan apapun terlebih dahulu.
“... Kamu harus berjanji tidak akan mengatakan apapun yang kamu lihat pada siapapun. Deal?”
“Apapun yang aku lihat?” tanyaku bingung. “Apa kamu memelihara jin?”
Dia berdecak gemas. “Apa aku mengatakan begitu?”
Aku menggeleng.
“Lalu apa maksud pertanyaanmu?”
Aku kembali memilih diam.
Dia merubah posisi duduknya agar lebih nyaman. Terbatuk kecil sebelum berkata, “Jadi, apa kamu bisa melakukannya? Deal?”
“Baiklah ... Deal!” ujarku setuju.
Dia terlihat lega mendengarnya. “Oke. Ingat! Kita sudah sepakat. Sekarang terserah kamu mau melakukan apa. Aku ingin istirahat.”
Wanita itu langsung pergi setelah mengatakan itu. Sepertinya masalah tempat tinggal sudah beres. Jadi aku akan tetap tinggal dengan wanita itu. Semoga dia tidak mengacau selama kami tinggal bersama. Aamiin!
~#~

Tidak perlu menunggu lima menit aku langsung tahu apa alasan wanita itu memaksaku berjanji. Siapapun tidak akan menyangka hal apa yang aku lihat sekarang. Aku sendiri bertanya-tanya bagaimana wanita secantik dan semodis itu hidup seperti ini?
               Kamarnya bau apek baju kotor yang menumpuk menunggu untuk dicuci. Sampah cemilan berserakan di lantai berbaur dengan helai rontokan rambut. Debu bisa langsung dirasakan ketika menginjakkan kaki di sini. Aksesoris pakaian seperti ikat pinggang tergeletak begitu saja di atas meja hias. Benar-benar berantakan!
               Itu belum seberapa dibandingkan dengan keadaan dapur. Piring kotor menumpuk di tempat pencucian piring. Bau busuk sisa makanan menyebar. Bahkan diatasnya hidup para belatung.
Di pojok dapur menumpuk plastik kresek tempat sampah. Mungkin sekitar sepuluh bundelan sampah yang tidak dibuang.
Meja dapur juga berlendir takpernah dibersihkan. Dan sisa minyak goreng menghitam di sela kompor dan dinding diatasnya.
Satu-satunya tempat bersih di bagian dapur ini hanya kamar mandi. Peralatan mandi yang lengkap tersusun rapi di dalam keranjang. Terdapat kaca kecil menggantung di dinding. Lantai keramik dan klosetnya mengkilap.
Aku menghela napas takpercaya. Kuhempaskan tubuhku ke atas kursi ruang tamu yang merupakan salah satu ruangan besar terawat selain teras. Kepalaku sangat pusing. Ini shock terapi yang hebat!
Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi mulai semenit kemudian. Aku harap bisa mengatasinya dengan baik seberat apapun itu.
Jaga dan pelihara hamba Ya Allah! Aamiin!
~#~
Catatan Kaki:
1.      Anis adalah panggilan untuk orang yang manis. Namun seiring waktu juga digunakan untuk memanggil orang yang lebih tua tanpa embel-embel “kakak”, “abang”, “bapak”, dan “emak”. Namun juga bisa dicampur dengan embel-embel tersebut seperti Mak Anis atau Pak Nis.
2.       Tembelina adalah nama sebuah desa di Kecamatan Sungai Melayu Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Bersambung....

              
              


              





A Story In Sungai Rengas; Kenangan 2

KENANGAN
               Liburan telah usai. Kegaiatan belajar-mengajar mulai dilakukan kembali pagi ini. Belum ada hal yang begitu berarti. Hari pertama mengajar hanya kuhabiskan dengan memperkenalkan diri pada para guru yang ada dan siswa yang akan kuajar nantinya. Kemudian memantau siswa kerja bakti membersihkan kelas yang 2 minggu mereka tinggalkan.
               Sambutan yang kuterima cukup hangat. Satu orang guru sudah kukenal sejak SD. Dua orang lainnya temanku ketika SMA yang tinggal di rumah dinas sebelah kami. Hari kemarin kami sudah sempat bertemu dan bertukar cerita. Sedangkan yang lain begitu asing. Hampir semua guru bukan penduduk asli Desa ini.
               Jam 9.30 pagi para siswa sudah diperbolehkan pulang. Tapi bukan meninggalkan sekolah, mereka malah pergi ke kantor guru meminjam peralatan olahraga pada Ari, guru olahraga kelas X, teman SD-ku itu. Beberapa siswa perempuan meminjam net dan bola voli. Siswa laki-laki meminjam bola takraw dan basket. Dan kumpulan paling banyak meminjam bola sepak.
               Aku yang hendak melangkah pulang mengurungkan niat. Menonton mereka bertanding sepertinya mengasyikkan. Sekaligus nostalgia dengan masa-masa aktif olahraga.
               Angin berhembus. Menggoyang kerudung lebar yang kupakai. Tenaganya membuat depan kerudungku berantakan.
Adak ikut maen, Sa—tidak ikut bermain, Sa?” tanya Ari tanpa disadari sudah berdiri tepat di sampingku.
               Dia lelaki gemuk dengan tinggi sekitar 168 centimeter. Kulitnya berwarna coklat terbakar matahari. Tidak banyak berubah darinya kecuali aura kedewasaan yang semakin terlihat.
               Aku taknyaman dengan jarak kami yang terlalu dekat menurut versi pribadi. Mengalihkan perhatiannya dengan menjawab, aku sekaligus memperlebar jarak kami. “Mok maen ape te bah, Ri—mau main apa coba, Ri? Udah ndak jago gik im—sudah tidak kuat lagi.”
               Ari tergelak. Masih menggunakan bahasa ibu kami dia berucap, “Belum juga tua, Sa.” Matanya menatap ke lapangan voli, dimana seorang siswa laki-laki sedang membantu para siswa perempuan memasang net. “Ingat, ‘kan? Waktu SD, hampir tiap sabtu kita ramai-ramai bersepeda ke SMP di Tayap supaya bisa bertanding voli.”
               Aku mengangguk, langsung teringat dengan masa itu. Kami, sesama anak kecil bersepeda ke Desa Kecamatan hanya untuk pertandingan persahabatan dengan SMP satu-satunya saat itu di wilayah kecamatan ini. Kurang lebih satu jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke sana. Namun itu tidak mengurangi rasa gembira sama sekali. Terlebih jika kami bisa menang melawan anak SMP yang jauh lebih tua.
               “Paling seru waktu sepatumu masuk lumpur, Ri,” sahutku kemudian, tertawa kecil. Tanah merah yang dimiliki daerah ini bisa menjadi bubur lumpur jika hujan, dan penyebab utama hujan debu kala kemarau. “Lalu, kamu yang paling payah main diserang kakak SMP dengan bola voli. Sudah sepatu hilang, jadi korban serangan pula.”
               Air menggaruk kepalanya. Tersenyum malu dia berkata, “Mengapa hal memalukan yang diingat?”
               Aku nyengir takenak hati. “Sorry, Ri.”
               Dia menggeleng. “Santai, Sa.” Perhatiannya beralih ke lapangan basket.
               Sepuluh siswa sudah berada di lapangan. Campur, siswa putra dan putri. Segerombolan yang lain berdiri di tepi lapangan, memberi dukungan pada temannya.
               “Kamu sudah jago olahraga sekarang, Ri?” teringat bahwa Ari benar-benar payah dalam olahraga. Dan sekarang malah menjadi guru olahraga. “Coba ikut mereka main.”
               “Bah eh—betul, ‘kan!” Ari tertawa. “Kamu itu cuma ingat yang jeleknya saja. Gawat kalau bertemu Susan. Jatuh reputasiku.”
               Aku kembali takenak hati. “In Shaa Allah tidak sampai ke telinga Kak Susan,” janjiku sambil mengingat agar bisa menjaga mulut jika nanti bertemu istri Ari yang merupakan teman SMA-ku. Ari sempat bilang sebelumnya kalau beliau sekarang mengajar di SD kami dulu. “Maaf ya, Ri! Kita satu sekolah cuma SD, ‘kan? jadi aku tidak tahu perkembangan selanjutnya.”
               Ari menumpukan lengannya ke atas papan pagar teras. Tubuhnya membungkuk nyaman. Dia menoleh padaku. “Selepas SD kamu kabur ke Kabupaten gara-gara patah hati, ‘kan?”
               Aku menangkap candaan dari kalimatnya. Langsung mengerti maksud tersirat ucapan itu. senyum geli muncul di wajahku. “Bukan, Ri. Hanya ingin melihat dunia lebih luas, kok.”
               Ari memutar bola mata mendengar kalimat sok bijakku itu. Pandangannya kembali mengarah ke lapangan sekolah.
               Aku mengikutinya. Juga memadang ke sana. Pada para siswa yang sedang bermain bola sepak. Sampai kapanpun sepertinya sepak bola akan menjadi olahraga terfavorit. Waktu SMA kami malah membuat klub sepak bola khusus putri. Anggota klub putra sering mengeluh karena kami selalu lebih dulu menguasai lapangan.
               “Dia belum menikah, Sa,” ucap Ari setelah kami cukup lama terdiam.
Aku memoleh padanya sekilas. Lalu kembali menatap lapangan. Berpura-pura sibuk melihat para siswa yang sedang asik main takraw.
“Sekarang ada di Tayap. Kerja di kecamatan,” lanjut Ari setelah tak mendapat respon dariku.
Lama aku terdiam. Ari pun sepertinya tidak ingin mengatakan hal lain. Menghela napas berat aku berkata, “Masa lalu, Ri. Cinta monyet ini.”
Ari mengangguk maklum. Konsentrasinya kembali pada para siswa. Sedangkan aku terpaksa kembali teringat dengan kisah akhir masa SD yang sengaja dilupakan.
Namanya Arta, teman seangkatan yang begitu kritis. Nakal, tapi cerdas. Bahkan Umak pun menempatnya sebagai siswa favorit.
Siapa mengira, aku yang waktu itu berusia 9 tahun tertarik padanya. Sebagai lelaki, dia menyebalkan. Namun sebagai teman belajar, dia tempat diskusi yang asik. Kami bersahabat akrab hingga kelas enam, saat seorang siswa pindahan datang.
Nadia namanya. Dia membuat Arta tertarik. Membuatnya berada ditengah-tengah persahabatan kami. Kemudian mencuri seluruh perhatian Arta. Bahkan Arta tidak menolongku waktu Anto—teman seangkatanku yang paking nakal—mengerjai. Arta terlalu sibuk di kantin, sarapan bersama Nadia.
Aku marah, marah besar. Merasa terkhianati. Sejak hari itu kami tidak bertegur sapa. Enam bulan sebelum kelulusan SD persahabatan kami hancur.
Namun itu sudah lama sekali. Aku sudah belajar menerima semua dan memaafkan. Mengubur kenangan buruk itu dalam-dalam agar rasa sakit hati takkembali. Hanya saja, masih ada perasaan taknyaman ketika ada yang menyinggung tentang itu.
“Sa,” panggil Ari menutup kenangan itu dari kepalaku. “Aku pulang duluan, ya.”
Aku mengangguk.
“Kamu belum ke bawah, ‘kan?” ujarnya menyebutkan lokasi SD kami berada.
“Belum,” gelengku.
“Kalau ke bawah, mampir ke rumah. Susan pasti senang.” Ari mengucap salam setelahnya.
Aku mengacungkan jempol, tanda “oke”. Lalu menjawab salam Ari. Dia pun berlalu.
Aku sendiri masih bertahan di sini. Menonton para siswa bermain tanpa beban. Sedikit iri, ingin kembali ke masa-masa remaja yang telah berlalu.
Beberapa guru yang hendak pulang menyapa basa-basi dengan senyum ramah.  Dua guru yang merupakan teman SMA-ku, Widia dan Tri, memutuskan bergabung. Kami pun sibuk menonton dan berkomentar sambil mengenang masa-masa SMA sampai bosan.
***

               Siang hari, selepas berbenah rumah, masak, dan salat dzuhur kuputuskan untuk ke bawah. Berkunjung ke rumah Ari dan Kak Susan sebentar sebelum ke rumah Nek Iting. Aku rindu keluarga beliau.
               Beliau hanya tetangga belakang rumah. namun kedekatan keluarga kami sudah seperti keluar sesungguhnya. Dulu aku sering bermain dengan Ucu Rida, anak bungsu Nek Iting.
Ucu Rida lebih tua enam tahun dariku. Dia kakak yang baik. Selalu menemaniku bermain. Juga menjagaku kalau Umak dan Bapak sedang pergi. Setelah menikah dengan Om Bet, Anis Ha memang tinggal cukup jauh. Jadi Ucu Rida menggantikan beliau.
Kakiku melangkah naik ke teras SD, memilih jalan yang teduh. Berlama-lama aku melangkah meneliti setiap jengkal banguna ini. Hatiku menghangat. Kerinduan akan Desa ini seperti tuntas terbayar setelah menginjak tempat ini.
Bangunannya memang banyak berubah. Dinding papan  sudah berganti semen. Atap sirap sudah diganti seng. Tapi tidak mengurangi kepuasan dalam diri. Kakiku berbelok menuju toilet di samping kelas IV. Penasaran apakah pohon mangga yang tumbuh di sana masih ada. Kegembiraan membuncah melihat pohon itu masih di sana. Sudah sangat tua memang.
Mengabaikan bau pesing yang tercium, mataku menatap takjub pada toilet yang dulu atapnya sering kami jadikan panggung konser dangdut abal-abal. Biasanya kami akan naik ke sana menggunakan pohon mangga sebagai tangga.
Toiletnya sudah diperbaharui. Atapnya tidak lagi kepingan sirap yang bolong. Menghapus niatku untuk angkat rok dan manjat ke sana.
Membuang kekecewaan yang timbul, kulontarkan pandangan ke tanah lapang depan toilet. Rerumputan itu masih di sana. Kami menyebutnya rumput bujang. Setiap konser, kami akan menganggap hamparan rumput itu sebagai penonton setia.
Namun rasa panas mulai membakar rasa senang. Hamparan kelapa sawit. Hutan belakang sekolah tempat bermainku sudah hilang. Tanah hitamnya terlihat kering. Sisi jahatku berharap dalam hati agar terjadi air pasang sehingga tanah itu terkena banjir, dan pohon-pohon sawit itu mati.
Astargfirullahaladziim! Kuucap istirgfar berkali-kali, berusaha mengusir harapan kejam itu. Sebenci apapun aku dengan kelapa sawit, benda itu tetap ciptaan Allah yang patut dihargai.
Kupalingkan wajah, lalu melangkah cepat-cepat. Menjauhi tempat ini adalah pilihan yang tepat. Tanpa bisa menikmati langkah seperti tadi, aku sampai di depan rumah Nek Iting.
Rumah itu tak berubah. Masih ada pohon bunga bugenvil di samping kiri dan kanan pagar pintu teras.Pohon jambu biji di sisi kiri teras. Pohon mangga di dekat pagar halaman tak jauh dari jambu. Dan pohon nangka di dekat pagar sebelah kanan.
Dua anjing kampung tampak mendengkur di bawah pohon nangka. Bisa jadi anjing liar atau milik Datuk Ngah, suami Nek Iting. Penduduk Desa ini sejak dulu biasa memelihara anjing sebagai penjaga rumah atau pun untuk membantu perburuan.
Dua ekor sapi terlihat sedang ngaso di dekat kandang mereka yang terletak di pojok halaman. Salah satunya masih kecil dan belum diberi pengikat. Mata sapi itu menatapku. Saat dia akan bergerak, aku bergegas membuka pintu pagar teras. Mengabaikan beberapa buah jambu biji yang tampak menggiurkan.
Kegaduhan yang kubuat tak menimbulkan keramaian berarti. Rumah ini masih tetap lengang. Pasti tuan rumah sedang sibuk di dapur atau tiduran di sana. Jarak dapur dan teras mencapai 25 meter.
Aku memberi salam sembari melangkah masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka. Kebiasaan lama yang sering kulakukan sejak dulu. Jawaban salam terdengar sayup-sayup dari arah dapur. Tepat seperti dugaanku.
Kudapati wanita berkulit putih di sana. Tubuhnya tinggi sekitar 160 centimeter. Sedikit gemuk. Namun wajah itu tak berubah. Wajah ramah seorang kakak. Ucu Rida.
Ucu Rida terpana beberapa saat ketika melihatku sebelum berseru, “Ya Allah, Sara!” Dia tampak takpercaya dengan penglihatannya. Bergerak dia memelukku penuh kerinduan seorang kakak terhadap adiknya. “Bile kau datang te—sejak kapan kamu datang?”
Aku sumringah. Memberi jarak dan mencium tangannya hormat. “Udah tige hari, Cu—sudah tiga hari, cu.”
Ndak,  udah lamak am—berarti sudah lama,” ucapnya masih memandangiku takpercaya. Matanya memerah perlahan, terlihat ingin memangis. “Ngape barok ke senek te—mengapa baru ke sini sekarang?”
Ada luapan penuh perasaan dalam hatiku. Membuat tenggorokan terasa panas. Memacu air mata untuk menetes, namun kutahan. Rasa haru ini lebih kuat daripada saat bertemu Anis Ha dan Om Bet waktu itu.
“Belum sempat kemarin. Harus mengurus kepindahan.” Kalimatku sedikit terputus-putus terdesak air mata yang memaksa keluar. “Sara ngajar di sini.”
Ucu Rida memelukku sekali lagi sebelum akhirnya sibuk menyiapkan makanan. “Belum makan, ‘kan? Ucu masak sayur asam pedas rebung asam ikan baung. Ada nasi beras tumbuk juga. Kemarin rindu beras tumbuk, jadi padinya tidak digiling. Kebetulan sekali kamu datang.”
Air liurku mencair di dalam mulut. Aku tergiur mencicipi. Sudah sepuluh tahun aku tidak makan nasi beras tumbuk. Hampir tiga tahun belum menyentuh sayur asam pedas rebung asam. Tanpa basa-basi menolak, aku mengangguk senang.
Aku berniat membantu, tapi Ucu Rida meminta untuk duduk saja menunggu. Aku pun menuju jendela dapur yang menghadap belakang rumah. Rasa sejuk yang damai mengisi rongga dadaku. Tidak berubah. Tidak ada kelapa sawit. Semua masih sama seperti dulu. Bedanya hanya pada pohon karet yang ditanam sebagai pagar belakang waktu dulu sebesar betis sudah tumbuh tinggi dan besar.
Lebih jauh lagi terlihat sungai kecil melintang. Dulu aku sering mandi di sana dengan Ucu Rida.
“Orang rumah kemana, Cu?” tanyaku sedikit terusik dengan kelengangan rumah ini.
“Nenek-Datukmu di ladang. Itu di belakang. Seberang sungai,” jawab Ucu Rida tanpa menghentikan kegiatannya.
Kutajamkan penglihatan. Benar juga. Di seberang sungai bukan semak belukar lagi, melainkan hamparan padi.
Masih teringat jelas dulu Umak, Ucu Rida, dan aku sering mencari kayu bakar di situ. Untuk ke sungai besar pun kami harus melewati tempat itu. Terkadang aku dan teman-teman juga bermain di sana. Mencari buah kelasi dan buah nasi. Sesekali burung enggang berwarna hitam putih dengan paruh jingga lewat di atas kami. Begitu indah. Begitu menakjubkan.
“Anak Ucu main ke rumah Ja. Ingat Ja, ‘kan?”
Aku mengangguk sambil mengingat-ngingat wajah Ja. Ingat namanya, tapi lupa rupanya.
“Abang kamu kerja,” lanjut Ucu Rida menjelaskan keberadaan Bang Amat, suaminya.
“Kerja apa Abang sekarang, Cu?”
Seingatku dulu Bang Amat kerja ngeret kayu. Sekarang penebangan liar sudah dilarang. Kalau ketahuan akan diadili. Meskipun tetap saja ada yang berani melanggar. Sampai saat ini Kabupaten Ketapang masih terkenal dengan kasus illegal logging-nya. Belum lagi berita yang menyatakan Kabupaten ini merupakan sarang mafia illegal logging.
               Miris!
               “Jadi mandor kelapa sawit, sa.”
               Aku manggut-manggut. Walau benci dengan kelapa sawit, tapi sepertinya dengan ada kebun kelapa sawit masyarakat di sini terbantu.
               “Sekarang dimana-mana kelapa sawit ya, Cu. Itu tanahnya mereka sewa atau beli?” kembali aku penasaran tentang ini.
               “Makan dulu, Sa.” Ucu Rida selesai menyiapkan makanan. Aku turun, duduk ke lantai tempat makanan disajikan. “Banyak yang dibeli. Belajar dari kejadian di Tembelina, penduduk tidak mau dibohongi.”
Aku mengerti maksud Ucu Rida. Perusahaan Kelapa Sawit di Tembelina di sita Bank karena tidak membayar cicilan dana modal. Uang untuk membayar cicilan dikorupsi. Padahal untuk modal sendiri menggunakan sertifikat tanah penduduk yang dipinjam sebagai jaminan. Pada akhirnya penduduk rugi karena hasil sawit mereka tidak dibayar dan sertifikat tanah pun tidak kembali.
“Tapi dibeli pun sama saja, Sa. Rata-rata penduduk tidak memiliki surat tanah. Pikirkan saja, tanah yang berada di daerah dan tanpa surat tanah. Harganya tidak akan sebanding dengan hasil yang di dapat perusahaan.” Ucu Rida melanjutkan.
               “Dan kerusakan tanah lahan,” sambungku geram.
               Ucu Rida tersenyum. “Ucu sempat mikir kalau tanah di sini dibeli bukan karena tidak ingin kejadian Tembelina terulang, tapi memang tidak ada sertifikat tanah yang bisa digadaikan.”
               “Bisa jadi,” sahutku.
               “Sudah, sekarang makan.”
               Aku mengangguk. “Ucu tidak makan?”
               “Ucu baru selesai makan tadi,” jawab Ucu Rida. “Makan saja yang banyak. Sudah lama tidak makan begini, ‘kan?”
               Tersenyum malu-malu aku menarik piring, lalu menyendok nasi. Aroma nasi beras tumbuk menggugah indra penciumanku, lalu cacing-cacing di perut. Aroma sayur asam pedas rebung asam ikan baungnya juga semakin menambah hasrat makan. Ini pasti nikmat sekali!
               Alhamdulillah aku masih bisa merasakan makanan seperti ini lagi. Meski sekali lagi aku tetap kecewa dengan kelapa sawit yang merubah Desa ini, tapi banyaknya tempat kenangan yang utuh menumbuhkan rasa syukur yang tak terkira. Aku berharap syukur ini tak akan pernah pupus.
***

Adzan maghrib hampir berkumandang saat aku sampai di depan rumah dinas. Ucu Rida memintaku ikut main voli bersama di lapangan voli SD. Dan baru saja selesai 15 menit lalu.
               Sebuah mobil Jeep yang terparkir di halaman mengganggu indra penglihatan. Aku jadi penasaran. Rasa penasaran semakin menjadi mendapati sandal lelaki tergeletak di delan pintu. Lelaki sopan mana bertamu ke rumah wanita ketika maghrib akan datang?
               Aku yakin wajahku terlihat masam. Sepertinya itu sangat jelas sehingga lelaki itu tersenyum taknyaman mendapatiku masuk. Kuanggukkan kepala sedikit sebagai tindakan kesopanan. Lalu langsung memalingkan muka. Kemudian segera  berlalu ke kamar.
               Kututup pintu kamar cepat-cepat. Langsung bersandar di sana setelahnya. Debaran jantungku sangat cepat setelah desiran aneh muncul waktu melihat wajah lelaki tadi. Perasaan apa ini?
               Debaran itu tetap ada meski istirgfar sudah kuucap banyak. Kudengar percakapan singkat yang akrab antara lelaki itu dengan Kak Chlo. Lalu suara berpamitan. Kemudian deru mobil Jeep yang menjauh. Baru debaran itu hilang.
               Tubuhku merinding. Ini membuatku takut. Apa lelaki itu berbahaya?
               Ya Allah! Kembali aku beristirgfar sebelum kemudian bergerak keluar untuk mengambil wudhu.
               Semoga tidak akan terjadi hal buruk.
***
Bersambung....

1.      Iting = keriting. Karena rambutnya keriting Nek Iting di panggil Nek Iting.
2.      Ucu = sebutan untuk anak bungsu.
3.      Ngah = sebutan untuk anak tengah
4.      Ngeret = Aku tidak tahu arti pastinya, tapi para penebang kayu jika pergi bekerja biasa di sebut ngeret kayu. Ngeret kayu dilakukan di dalam hutan. Penebang kayu bisa berada di lokasi seminggu bahkan berbulan-bulan.




            




Selasa, 01 Juli 2014

Rusmi binti Hasan; Prologue

PROLOGUE
Copyright 2014 © Mumu Rahadi

Dua puluh dua maret 2014
Ucapan syukur menggema setelah akad nikah berjalan lancar. Para saksi bertepuk tangan riuh. Ketegangan yang dirasa kedua mempelai sirna sudah.
            Pak Hasan segera menuju kamar mandi. Lelaki setengah abad ini sudah tidak tahan. Butuh tempat tersembunyi agar tak dipandang lucu.
            Dinding kamar mandi yang dingin menjadi saksi saat air mata Bapak ini menetes. Punggung kurus yang mulai renta itu begetar bersamaan dengan isakan pelan yang lolos. Berat rasa hatinya karena sedih dan bahagai bercampur baur. Untuk pertama kali dalam sejarah hidup, beliau menjabat tangan seorang lelaki dan memindahkan tanggung jawab seorang ayah pada suami anaknya.
            Bait demi bait penerimaan yang di ucap calon mantu yang beberapa saat lalu resmi menjadi menantunya mengantarkan getaran ketidakrelaan. Sedih rasanya harus melepas putri tercinta pada orang asing. Namun beginilah hidup, bukan? Waktu terus berjalan. Pada saat menjabat tangan ayah mertua dulu, beliau sadar akan ada hari dimana harus melakukan hal yang sama. Dan ternyata begini rasanya. Menyesakkan!
            Potongan-potongan kenangan berebut masuk dalam pikiran. Betapa waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin dia mendengar tangis pertama Rusmi, lalu hari ini putrinya itu sudah menjadi seorang istri.
            “Pak!” panggil Tati, putri keduanya, dalam bahasa daerah mereka yang khas setelah terdengar ketukan pintu. “Masih lama, ya? Mamak manggil. Sebentar lagi sungkeman.”
            Cepat-cepat Pak Hasan menghapus air mata dengan ujung lengan panjang batik khusus yang dibuat untuk acara nikahan. Berdehem dua kali agar suara terdengar normal saat menjawab, “Sebentar lagi Bapak keluar.”
            Kedua tangannya mengusap bagian depan baju agar rapi. Lalu memeriksa sekali lagi penampilan agar tidak ada yang menangkap keanehan. Sudah merasa yakin, beliau membuka kunci pintu kamar mandi dan melangkah keluar dengan wajah datar.
            Gagah beliau menapak menuju ke samping istri yang sudah duduk di atas kasur beralaskan karpet beledu merah lembayung. Tempat yang sengaja disiapkan untuk acara sungkeman. Memantapkan diri dalam hati bahwa tidak akan menangis di depan orang lain sebelum duduk bersila. Dia akan melewati bagian ini dengan tenang.
~°~

            Rusmi menarik napas dalam. Suaminya dan dia sudah siap sedia di depan orang tua mereka. Masih menunggu Bapaknya kembali dari kamar mandi sebelum acara sungkeman dimulai.
Acara sungkeman setelah akad nikah selalu dia benci sejak dulu. Berpuluh kali menghadiri pernikahan, sungkeman tetap menjadi ajang banjir air mata. Dan sisi sensitif hatinya akan ikut terbawa haru.
            Sekarang dia harus menghadapi sendiri acara tersebut. Dapat dipastikan air matanya akan tumpah ruah. Sekarang saja kelopaknya sudah perih menahan tangis.
            Haru menyelimuti sanubari saat matanya bertemu mata sang suami. Lalu sedih melanda saat netra itu melihat Mak Diah, Mamaknya, yang tersenyum lembut di atas wajah yang mulai keriput. Tatapan Mak Diah mengakibatkan sensasi campur aduk dalam diri Rusmi. Bahagia; haru; sedih; rindu membaur jadi satu. Ingin rasanya menghambur kepelukan wanita 40 tahunan itu. Menangis sejadi-jadinya di sana. Sekaligus berterima kasih dengan kasih sayang yang takmungkin terbalas, juga meminta maaf atas khilaf kata dan tindakan selama ini.
            Takut tiba-tiba menguasai. Dia sudah menjadi seorang istri. Mungkin setahun kemudian sudah menjadi seorang ibu. Apa dia mampu memikul tanggung jawab itu? Tidak hanya tanggung jawab memberi makan, melainkan juga menjaga, membesarkan, mengajar, dan mendidik. Dia semakin ingin menangis karenanya. Air bahkan sudah menggenang di pelupuk mata.
            Dipejamkannya mata kuat-kuat. Menghalau air mata yang siap menetes. Sekali lagi bernapas dalam-dalam agar rongga dada lebih lega. Menghitung sampai lima sebelum membuka mata kembali.
            Sosok Pak Hasan langsung tertangkap pupil mata. Wajah lelaki itu tenang tak berekspresi. Selalu begitu, kuat dan tegas. Muka yang menyebalkan.
            Kalau dia masih Rusmi yang dulu, saat ini pasti sudah memaki-maki Pak Hasan dalam hati. Menggerutu karena memiliki Bapak seperti Pak hasan. Berandai-andai memiliki Bapak yang lebih lembut dan baik hati, bukan kaku dan kejam seperti lelaki itu. Dan tertawa bahagia sudah bukan di bawah tanggung jawab Pak Hasan lagi, melainkan suaminya. Tapi sejak setahun kemarin Rusmi menjadi berbeda. Rusmi yang ini adalah Rusmi Hasan, bukan Rusmi Fariska Pertami.
            Rusmi yang baru merupakan seorang anak yang sangat bangga menggunakan nama Bapaknya sebagai nama belakang. Seorang anak perempuan yang bersyukur memiliki Bapak seperti Pak Hasan. Seorang gadis yang selalu mau dikenal sebagai Rusmi Hasan. Seorang putri yang mantap memperkenalkan diri dengan berkata, “Aku Rusmi Hasan. Anak pertama Pak Hasan dan Mak Diah.”
            Keadaan mengubah Rusmi. Mengetahui kenyataan membelokkan jalan pikirannya. Membuatnya mampu memandang dari sisi yang berbeda. Membantunya menilai dari sudut yang lain.
~°~

            Acara sungkeman baru akan dimulai, tapi mata Rusmi tampak memerah. Pak Hasan yakin putrinya itu akan menangis sebentar lagi. Sejak kecil Rusmi memang cengeng. Begitu sensitif dengan keadaan sekitar. Namun hebatnya kuat menahan rasa sakit.
            Pak Hasan ingat Rusmi bisa menangis berjam-jam saat Tati yang waktu itu baru berusia empat tahun dibelikan boneka Barbie, sedangkan dia yang sudah berusia 6 tahun tidak memiliki yang baru. Lalu beliau yang kesal memukul Rusmi dengan ranting pohon. Dan Rusmi tidak meneteskan air mata sedikit pun.
            Guratan penyesalan terlihat di wajah yang mulai menua itu. Mengenang masa lalu hanya menimbulkan rasa sakit tersendiri. Rasa tidak puas sebab bukan merupakan bapak yang baik bagi anak-anaknya menusuk-nusuk ulu hati. Tahun-tahun awal pernikahan beliau memang belum bisa mengontrol emosi. Dan kemarahan yang muncul terlampiaskan pada buah hati.
            Suami Rusmi sudah sampai di hadapan Pak Hasan ketika beliau mengembalikan konsentrasi pada acara sungkeman ini. Menantunya ini mengambil tangan beliau dan merunduk, mencium tangan dengan khitmat. Sedangkan di samping, Rusmi terisak hebat dengan kepala di atas pangkuan Mak Diah. Akhirnya anak pertamanya itu tidak bisa lagi menahan diri untuk menangis.
            Sampai di hadapannya dandanan Rusmi sudah berantakan. Pak Hasan tertawa kecil berusaha membuang atmosfer sedih di sekeliling mereka, juga menghapus jejak kekakuan di wajahnya. “Mukamu jelek, Rus.”
            Rusmi tertawa di sela isak tangis mendengar ejekan Bapaknya ini. “Jelek juga anak Bapak, ‘kan?”
            Pak Hasan terkekeh. Tangan kanannya menepuk-nepuk kepala Rusmi yang tertutup kerudung. Merasakan kasih sayang Bapaknya, air mata Rusmi pun kembali mengalir deras.
            Diraihnya tangan Pak Hasan. Lalu di cium khitmat. Ditundukkannya kepala hingga menyentuh pangkuan Bapaknya itu. Sambil sesekali cegukan dia berkata, “Doakan Rusmi agar bisa menjadi istri dan ibu yang baik, Pak. Doakan agar Rusmi bisa menjadi orang tua yang hebat seperti Mamak dan Bapak. Maafkan Rusmi yang selalu menyusahkan Bapak. Terima kasih sudah memberikankasih sayang yang berlebih pada Rusmi. Rusmi sayang Bapak.”
            Pak Hasan mengatup rapat bibir; Mengetatkan gigi, menahan air mata yang mendesak keluar mendengar ucapan putrinya ini. Beliau tidak mampu mengucapkan apapun. Hanya sebuah anggukan dan tepukan lembut di bahu Rusmi yang menunjukkan begitu besarnya cinta beliau.
            Terkadang kata memang tidak diperlukan. Ikatan batin antara anak dan orang tua bisa menyampaikan kasih sayang tanpa ucapan. Dengan tepukan-tepukan lembut di bahu, Rusmi bisa mengerti bahwa sampai kapan pun orang tuanya—Pak Hasan dan Mak Diah—akan selalu ada untuk memberikan dukungan dan cinta ikhlas mereka. Hal ini membesarkan hati Rusmi. Mengantarkan energi positif sehingga membuatnya lebih percaya diri, juga yakin mampu menjalani hidup berumah tangga.
~°~









Sabtu, 21 Juni 2014

CHEESECAKE, TEASET, AND CEREAL; CHEESECAKE 5



            “Tila, sudah ya ... Kita istirahat ya!” rayu Abi pada Atila yang asik berlari kesana kemari di atas pasir kecoklatan. Bukan karena dia letih, tapi pasir yang cukup tebal membuat bayi itu beberapa kali terjatuh. Abi takut Atila terluka.
            Atila yang mendengar itu malah tertawa, menunjukkan susunan giginya yang belum sempurna. Rayuan Abi dianggap sebagai ajakan untuk terus bermain.
            “Eh!” seru Atila diikuti tubuhnya yang limbung, lalu jatuh.
            Abi berhenti bernapas sesaat, kaget dan cemas. Bagaimana kalau ada batu di bawah tubuh Atila? Kalau tidak, potongan ranting mungkin? Itu akan membuat Atila terluka. Tapi, sesaat kemudian menghembuskan napas lega melihat Atila kembali tertawa. Bayi yang baru berusia tiga tahun itu mengerjainya.
            Tidak ingin dikerjai dua kali Abi bergerak cepat ke arah Atila dan menggendongnya. “Sudah, ya ... Kita berteduh dulu. Di sini panas. Nanti kamu demam.”
            Atila yang belum terlalu mengerti kalimat Abi merengek minta diturunkan. Dia masih ingin bermain. Namun Abi bertahan untuk tidak luluh melihat wajah memelas itu. ini demi kebaikan Atila juga.
            Dia membawa Atila duduk berteduh di bawah gazebo depan salah satu warung yang sengaja disediakan pemiliknya setelah memesan sebuah kelapa muda. Sengaja tidak meminta es. Dia tidak tahu apakah tubuh Atila bisa menanggulangi dingin es setelah sebelumnya berpanas-panasan. Panas dalam, lalu demam bisa saja terjadi.
            Atila yang awalnya masih merengek langsung sibuk di depan meja. Segera melupakan keinginan berpanas-panasan. Sekarang asik memukul-mukul permukaan meja dengan kedua telapak tangan layaknya menabuh gendang.
            Abi membiarkan Atila, namun tetap berjaga-jaga siapa tahu bayi itu bergerak tak terarah. Gazebo ini cukup tinggi bagi seorang bayi.
            “Anaknya aktif ya, Mba’!” seru pemilik warung beramah-tamah sembari meletakkan sebuah kelapa muda ke atas meja.
            Mata Atila langsung berpindah ke benda tersebut. Tangannya mulai terulur untuk menjangkau benda itu.
            “Iya, Bu,” jawab Abi tersenyum, sekaligus menggeser kelapa muda tadi jauh dari jangkauan Atila.
            Atila tidak menyerah. Setengah badannya sudah naik ke atas meja.
            “Usianya tiga tahun ya, Mba’?” tebak Ibu itu, ikut duduk di gazebo.
            Abi mengangguk. “Tiga tahun satu bulan.” Setidaknya itu yang Abdiel katakan waktu dia bertanya saat dalam perjalanan ke pantai ini.
            Tangannya meraih Atila yang hendak memutar ke bagian lebih dekat dengan kelapa muda tadi. Diletakkan bayi itu ke pangkuannya. Sebelah tangannya menahan tubuh Atila yang hendak berdiri kembali, sedangkan sebelah lagi menyendok daging kelapa muda dan menyuapkan benda itu ke mulut kecil bayi ini.
            Dengan gigi seadanya, Atila mengunyah daging kelapa muda itu sehingga menunjukkan mimik lucu. Ibu pemilik warung tertawa melihatnya.
            “Giginya belum banyak ya, Mba’!” komentar Ibu itu di sela tawa.
            “Iya nih, Bu. Baru enam di atas dan delapan di bawah,” respon Abi membenarkan. “Giginya agak terlambat tumbuh.”
           Ibu itu manggut-manggut. Dia menyapa Atila dengan bahasa jawa, “Namanya siapa?”
            Atila berhenti mengunyah. Mengamati Ibu itu, lalu menjawab, “Tila.”
            Abi sedikit terkejut mendengar Atila menjawab. Padahal dia butuh waktu hampir setengah jam untuk dekat dengan bayi ini. lalu butuh waktu dua jam untuk mendengarnya bicara. Dan selama satu jam dia bermain dengan Atila, bayi ini tidak begitu mengerti kalimatnya.
            Kemudian Abi menggerutu dalam hati mengutuku kebodohannya. Bisa jadi orang tua Atila merupakan orang jawa asli. Jadi anak ini tidak begitu mengerti Bahasa Indonesia.
            “Lagi!” seru Atila menyentuh tangan Abi.
            Abi tersadar. Langsung disendoknya lagi daging buah kelapa muda, kemudian menyuapkan pada Atila.
            “Wah, pintarnya!” Ibu pemilik warung terlihat kagum. Terus saja dia mengamati Atila. Mungkin akan duduk lama bersama mereka kalau tidak ada yang membeli.
            Abi memegang buah kelapa muda itu dengan kedua tangannya. Membiarkan Atila menyedot airnya saat Ibu itu pamit meninggalkan mereka. Kali ini tanpa bisa dicegah Atila menguasai sendok dan mulai mengaduk-aduk isinya, berusaha mengambil daging buah tersebut. Abi pasrah, membiarkan Atila bertindak sesuka hati karena kedua tangannya menumpu buah itu.
***

            Dari kejauhan, Abdiel yang baru selesai salat dzuhur tersenyum melihat kedekatan Abi dan Atila. Dia sengaja membawa Atila agar Abi merasa nyaman jalan dengannya karena tahu gadis itu memiliki kewaspadaan tinggi. Selain itu juga ingin tahu seberapa tinggi level kemampuan Abi menangani seorang bayi.
            Alasan terakhir itu yang membawa mereka ke ini. Salah satu pantai yang ada di Wonosari, Yogyakarta. Butuh waktu tempuh kurang lebih dua jam untuk sampai ke lokasi. Dengan begitu mereka tidak bisa buru-buru mengembalikan Atila ke kedua orang tuanya jika mulai cerewet.
            Sejauh ini Abi bisa menangani Atila dengan baik. Tindakannya menunjukkan bahwa sudah terbiasa mengasuh bayi. Layak untuk dipertimbangkan lebih serius.
            Abdiel tersenyum geli mengingat awal pertemuan mereka 10 hari lalu. Tidak pernah terpikirkan sama sekali hari itu dia akan mengucapkan ajakan menikah pada gadis yang baru dikenal. Padahal dia berada di cafe hanya ingin minum kopi. Bersantai melupakan suntuk sementara waktu.
            Usia 35 menjadi usia yang berat jika Ibu kita mulai gencar menanyakan pernikahan. Belum lagi rasa iri merasuk melihat orang sekitar tampak bahagia berkumpul dengan anak dan istri. Empat dari lima sahabatnya juga sudah berumah tangga. Hanya Andien dan dia yang masih betah sendiri. Jadi tidak perlu repot memupuk, keinginan membangun rumah tangga itu tumbuh subur bagai jamur di tanah basah.
            Sempat terpikir untuk berkompromi dengan Andien. Tidak ada salahnya mencoba mendiskusikan hal ini pada sahabat yang juga masih belum menemukan kekasih hati. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mana tahu kecocokan mereka dalam bersahabat juga sama cocoknya kalau menjadi suami-istri. Namun belum sempat niat itu terlaksana takdir itu pun datang.
            Ketika menyesap kopi kesekian, dua gadis masuk ke dalam cafe dan duduk tepat di meja belakangnya. Tanpa memikirkan sekeliling mereka berbicara masalah pribadi dengan lancar. Dirinya yang tidak berniat tahu urusan orang lain secara tidak sengaja ikut masuk mendengarkan pembicaraan.
            Tidak disangka permasalahnya dengan salah satu gadis itu sama. Tentang menjalin hubungan dalam sebuah pernikahan.
Kalimat-kalimat yang mengalir lancar keluar dari mulut gadis itu membuatnya tertarik. Rasa penasaran pun mendesaknya. Maka, saat teman gadis itu pergi tanpa bisa mengendalikan diri dia menengok kebelakang. Ternyata gadis itu sedang melamun. Wajah melamun itu sangat menarik. Memaksanya bergerak pindah. Duduk di kursi kosong yang tadi di pakai oleh teman gadis itu. dan akhirnya pembicaraan mengalir begitu saja.
Gadis itu, Abi, bukanlah wanita tercantik yang pernah dia lihat. Cantik itu sangat relatif. Namun ada sesuatu dalam diri Abi yang menariknya bagai magnet beda kutub. Membuatnya ingin mengenal Abi lebih jauh lagi.
Ajakan menikah itu pun terucap. Bukan sebuah gurauan, melainkan penawaran. Jika hari itu Abi menolak, masih ada Andien yang bisa diajak bekerjasama. Dan beruntung sekali Abi tidak menolak sungguh-sungguh, walau tidak menerima juga.
Lalu disinilah mereka. Berusaha saling mengenal secara singkat dengan trik-trik tertentu yang mungkin tidak pernah terikirkan oleh orang yang berpacaran. Mencari kecocokan di sela waktu yang sedikit. Berharap tidak akan sia-sia sehingga mampu memberi keputusan yang diinginkan, belajar mencintai dalam sebuah ikatan pernikahan.
***

            Abdiel mendapat sebuah senyuman saat melewati Abi. Reflek dia membalas senyuman itu.
“Tidak memesan yang lain?” tanyanya ketika sudah duduk di gazebo.
            “Belum,” sahut Abi sembari meletakkan kembali buah kelapa muda ke atas meja.
            Atila tidak melepaskan tangannya dari sendok sehingga secara otomatis berdiri. Dengan sebelah tangan bertumpu pada meja, dia kembali asik bermain dengan sendok dan air kelapa muda.
            “Aa’ mau pesan makanan atau minuman?” tanya Abi. “Biar sekalian kupesankan sebelum ke Masjid.”
            Abdiel terlihat berpikir. Matanya berusaha membaca menu yang tertulis jauh di warung. Tak lama dia menyerah. Tulisan itu terlalu kecil sehingga tampak seperti coretan tanpa makna.
            “Ada soto ayam, mie instant rebus atau goreng, nasi goreng, nasi rames ...” Abi membacakan menu tersebut satu per satu. “Lalu ada es kelapa muda, teh panas atau dingin, jeruk panas atau dingin, coffeemix, soda gembira, cappuccino...” Seringaian kecil terlihat di wajahnya selesai membaca.
            Abdiel meringis, tahu Abi mengejek penglihatannya yang memang kurang bagus. “Apa itu akan mengurangi nilaiku sebagai calon suami yang potensial?”
            Abi menggedikkan bahu. “Jadi sebenarnya kamu menggunakan kacamata?”
            “Seharusnya,” jawab Abdiel, sedangkan tangan lelaki ini menarik tangan Atila yang sudah masuk ke dalam buah kelapa muda  dan mengacak air kelapa hingga bajunya basah. “Tapi hanya kugunakan saat membaca buku atau duduk di depan layar komputer dan televisi.”
            “Sejujurnya lelaki berkacamata itu menarik,” ujar Abi saat Abdiel hendak mengambil handuk kecil di dalam tas khusus milik Atila.
            Tangan lelaki itu berhenti. Menoleh pada Abi dan berkata dengan nada bercanda, “Aku akan menggunakannya setiap bertemu denganmu.”
            Abi mendengus geli mendengar candaan Abdiel. “Jadi mau pesan apa?”
            “Soto ayam dan es cappuccino,” jawab Abdiel, disela kesibukan mengeringkan tangan dan baju Atila yang basah karena air kelapa muda.
            Terdengar kata “oke” sebelum Abi berbalik menuju warung. Setelah terlihat bercakap-cakap sebentar dengan Ibu pemilik warung, dia pergi menuju masjid untuk salat dzuhur.
***

            Abi tidak menemukan Abdiel dan Atila di gazebo ketika kembali dari Masjid. Mata Abi menyapu sekeliling, mencari jejak mereka. Tidak ada di tepi pantai. Sekarang hampir jam satu siang. Matahari masih bersinar terik, jadi wajar kalau mereka tidak di sana. Namun di warung juga tidak ada.
            Makanan Abdiel masih tersisa setengah. Minumannya juga masih utuh. Abi mencoba mengamati sekeliling dengan teliti sekali lagi.
            Sosok itu tertangkap sedang berdiri di depan toilet. Bersandar pada bagian dinding toilet yang bersih dengan tangan menyilang di depan dada. Pose yang terlalu keren untuk berada di sana.
            “Atila mendapat panggilan darurat,” jelas Abdiel ketika Abi mendekat dengan cengiran geli.
            “Darurat standar atau sangat darurat?” tanya Abi, sekarang sudah berdiri di samping Abdiel. “Oh … Sangat darurat,” ujarnya saat mencium bau yang kurang menyenangkan dari dalam toilet tempat Atila berada dengan pintu yang setengah terbuka.
            “Dia takut kalau pintunya di tutup.” Abdiel memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku dan sebelahnya lagi mengusap kepala.
            Abi terpesona beberapa saat. Darahnya berdesir. Segera dia memalingkan muka ke arah lain. Pose itu berbahaya bagi matanya. Seperti melihat seorang model pria yang sedang melakukan pemotretan.
            “Aa’ kembali saja ke gazebo,” tawar Abi berbicara lagi, berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri. “Lanjutkan makannya ...” ucapannya menggantung. Teringat dengan apa yang Abdiel lakukan di sini, “... kalau masih bisa.”
            Abdiel menarik kedua alisnya ke atas. Kedua tangannya berada di dalam saku. Senyum miring terlihat di sana. “Tentu saja masih bisa. Aku sudah terbiasa menghadapi ini.” Matanya menatap Abi beberapa detik. “Apa kamu yakin mau menanganinya?”
            Mendengar nada ragu dalam pertanyaan Abdiel mengganggu ego Abi. Menaikkan dagu sedikit, dia berkata dengan sombong, “Aku juga sudah terbiasa dengan ini.”
            Mulut Abdiel membuat lingkaran karena menyebut “o” tanpa suara. Kemudian melihat ragu ke pintu toilet yang setengah terbuka sebelum berkata, “Oke ... Aku kembali ke gazebo.”
            Abi memberikan senyum setengah hati mengantar langkah Abdiel. Dia kesal mendapati keraguan di wajah lelaki itu. Jelas sekali Abdiel mengira dia memaksakan diri. Padahal dia memang sudah terbiasa. Anak kakaknya tidak ingin ditangani orang lain kalau dia ada.
            Sepuluh menit kemudian, Abi dan Atila menyusul Abdiel kembali ke gazebo. Makanan lelaki itu sudah tandas. Sekarang dia sedang menikmati pemandangan sambil sesekali menyeruput es cappucinno.
            “Apa Atila terbiasa kamu bawa pergi?” tanya Abi penasaran karena sudah lewat tengah hari bayi itu tidak rewel sama sekali.
            Abi membantu Atila naik ke gazebo sebelum dia sendiri ikut duduk. Atila langsung bergerak mendekati Abdiel dan duduk di pangkuan lelaki itu.
            “Lebih tepatnya sering kuculik dari orang tuanya,” jawab Abdiel. “Ummi dan aku hanya tinggal berdua. Kadang beliau kesepian di rumah, jadi Atila sering kupinjam untuk meramaikan suasana.”
            Tangan Abdiel mengusap kepala Atila. Atila sendiri bersandar nyaman pada lelaki itu. Sepoi angin yang bertiup di hari yang terik perlahan merayu bayi ini untuk terpejam.
            “Berapa usia beliau?” tanya Abi.
            Matanya melirik ke warung. Lehernya kering. Dia kehausan.
            “Lima puluh enam tahun,” jawab Abdiel sembari menggeser gelasnya ke depan Abi.
            Abi meluruskan punggung, kaget dengan tindakan Abdiel. Di otaknya mulai bergema kalimat yang berawal dengan “apa”. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus minum ini? Apa sopan kalau tidak kuminum? Apa tidak apa-apa jika kuminum?
            Butuh 30 detik bagi Abi untuk mengambil keputusan. Dia menggeser kembali gelas itu ke depan Abdiel. “Thanks, tapi aku pesan minuman yang lain saja.”
            Abi segera bergerak menuju warung. Ada rasa bersalah di sudut hatinya. Ada takut juga di sana. Bagaimana kalau Abdiel tersinggung dengan tindakannya? Tapi itu keputusan yang tepat. Dia masih harus terus waspada. Mereka belum terlalu kenal untuk berbagi minuman di gelas yang sama.
           Abdiel sendiri memandangi punggung Abi. Sedikit tersinggung, namun dia mengerti. Terlebih dia sadar kalau Abi wanita yang sangat berhati-hati. Lagipula itu hanya tindakan reflek saat melihat Abi tampak kehausan.
            Abi kembali dengan membawa segelasas es teh saat Abdiel sedang memperbaiki posisi Atila agar tidur lebih nyaman. Namun belum sempat dia menyerut es teh dengan nyaman, tiba-tiba Abdiel bertanya, “Mau bertemu Ibuku minggu depan?”
            Abi langsung membatu. Tangannya yang memegang gelas mengambang di udara. Mampus!
***
Bersambung....