PROLOGUE
Copyright 2014 © Mumu RahadiDua puluh dua maret 2014
Ucapan syukur menggema setelah akad nikah berjalan lancar. Para saksi bertepuk tangan riuh. Ketegangan yang dirasa kedua mempelai sirna sudah.
Pak Hasan segera menuju kamar mandi. Lelaki setengah abad ini sudah tidak tahan. Butuh tempat tersembunyi agar tak dipandang lucu.
Dinding kamar mandi yang dingin menjadi saksi saat air mata Bapak ini menetes. Punggung kurus yang mulai renta itu begetar bersamaan dengan isakan pelan yang lolos. Berat rasa hatinya karena sedih dan bahagai bercampur baur. Untuk pertama kali dalam sejarah hidup, beliau menjabat tangan seorang lelaki dan memindahkan tanggung jawab seorang ayah pada suami anaknya.
Bait demi bait penerimaan yang di ucap calon mantu yang beberapa saat lalu resmi menjadi menantunya mengantarkan getaran ketidakrelaan. Sedih rasanya harus melepas putri tercinta pada orang asing. Namun beginilah hidup, bukan? Waktu terus berjalan. Pada saat menjabat tangan ayah mertua dulu, beliau sadar akan ada hari dimana harus melakukan hal yang sama. Dan ternyata begini rasanya. Menyesakkan!
Potongan-potongan kenangan berebut masuk dalam pikiran. Betapa waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin dia mendengar tangis pertama Rusmi, lalu hari ini putrinya itu sudah menjadi seorang istri.
“Pak!” panggil Tati, putri keduanya, dalam bahasa daerah mereka yang khas setelah terdengar ketukan pintu. “Masih lama, ya? Mamak manggil. Sebentar lagi sungkeman.”
Cepat-cepat Pak Hasan menghapus air mata dengan ujung lengan panjang batik khusus yang dibuat untuk acara nikahan. Berdehem dua kali agar suara terdengar normal saat menjawab, “Sebentar lagi Bapak keluar.”
Kedua tangannya mengusap bagian depan baju agar rapi. Lalu memeriksa sekali lagi penampilan agar tidak ada yang menangkap keanehan. Sudah merasa yakin, beliau membuka kunci pintu kamar mandi dan melangkah keluar dengan wajah datar.
Gagah beliau menapak menuju ke samping istri yang sudah duduk di atas kasur beralaskan karpet beledu merah lembayung. Tempat yang sengaja disiapkan untuk acara sungkeman. Memantapkan diri dalam hati bahwa tidak akan menangis di depan orang lain sebelum duduk bersila. Dia akan melewati bagian ini dengan tenang.
~°~
Rusmi menarik napas dalam. Suaminya dan dia sudah siap sedia di depan orang tua mereka. Masih menunggu Bapaknya kembali dari kamar mandi sebelum acara sungkeman dimulai.
Acara sungkeman setelah akad nikah selalu dia benci sejak dulu. Berpuluh kali menghadiri pernikahan, sungkeman tetap menjadi ajang banjir air mata. Dan sisi sensitif hatinya akan ikut terbawa haru.
Sekarang dia harus menghadapi sendiri acara tersebut. Dapat dipastikan air matanya akan tumpah ruah. Sekarang saja kelopaknya sudah perih menahan tangis.
Haru menyelimuti sanubari saat matanya bertemu mata sang suami. Lalu sedih melanda saat netra itu melihat Mak Diah, Mamaknya, yang tersenyum lembut di atas wajah yang mulai keriput. Tatapan Mak Diah mengakibatkan sensasi campur aduk dalam diri Rusmi. Bahagia; haru; sedih; rindu membaur jadi satu. Ingin rasanya menghambur kepelukan wanita 40 tahunan itu. Menangis sejadi-jadinya di sana. Sekaligus berterima kasih dengan kasih sayang yang takmungkin terbalas, juga meminta maaf atas khilaf kata dan tindakan selama ini.
Takut tiba-tiba menguasai. Dia sudah menjadi seorang istri. Mungkin setahun kemudian sudah menjadi seorang ibu. Apa dia mampu memikul tanggung jawab itu? Tidak hanya tanggung jawab memberi makan, melainkan juga menjaga, membesarkan, mengajar, dan mendidik. Dia semakin ingin menangis karenanya. Air bahkan sudah menggenang di pelupuk mata.
Dipejamkannya mata kuat-kuat. Menghalau air mata yang siap menetes. Sekali lagi bernapas dalam-dalam agar rongga dada lebih lega. Menghitung sampai lima sebelum membuka mata kembali.
Sosok Pak Hasan langsung tertangkap pupil mata. Wajah lelaki itu tenang tak berekspresi. Selalu begitu, kuat dan tegas. Muka yang menyebalkan.
Kalau dia masih Rusmi yang dulu, saat ini pasti sudah memaki-maki Pak Hasan dalam hati. Menggerutu karena memiliki Bapak seperti Pak hasan. Berandai-andai memiliki Bapak yang lebih lembut dan baik hati, bukan kaku dan kejam seperti lelaki itu. Dan tertawa bahagia sudah bukan di bawah tanggung jawab Pak Hasan lagi, melainkan suaminya. Tapi sejak setahun kemarin Rusmi menjadi berbeda. Rusmi yang ini adalah Rusmi Hasan, bukan Rusmi Fariska Pertami.
Rusmi yang baru merupakan seorang anak yang sangat bangga menggunakan nama Bapaknya sebagai nama belakang. Seorang anak perempuan yang bersyukur memiliki Bapak seperti Pak Hasan. Seorang gadis yang selalu mau dikenal sebagai Rusmi Hasan. Seorang putri yang mantap memperkenalkan diri dengan berkata, “Aku Rusmi Hasan. Anak pertama Pak Hasan dan Mak Diah.”
Keadaan mengubah Rusmi. Mengetahui kenyataan membelokkan jalan pikirannya. Membuatnya mampu memandang dari sisi yang berbeda. Membantunya menilai dari sudut yang lain.
~°~
Acara sungkeman baru akan dimulai, tapi mata Rusmi tampak memerah. Pak Hasan yakin putrinya itu akan menangis sebentar lagi. Sejak kecil Rusmi memang cengeng. Begitu sensitif dengan keadaan sekitar. Namun hebatnya kuat menahan rasa sakit.
Pak Hasan ingat Rusmi bisa menangis berjam-jam saat Tati yang waktu itu baru berusia empat tahun dibelikan boneka Barbie, sedangkan dia yang sudah berusia 6 tahun tidak memiliki yang baru. Lalu beliau yang kesal memukul Rusmi dengan ranting pohon. Dan Rusmi tidak meneteskan air mata sedikit pun.
Guratan penyesalan terlihat di wajah yang mulai menua itu. Mengenang masa lalu hanya menimbulkan rasa sakit tersendiri. Rasa tidak puas sebab bukan merupakan bapak yang baik bagi anak-anaknya menusuk-nusuk ulu hati. Tahun-tahun awal pernikahan beliau memang belum bisa mengontrol emosi. Dan kemarahan yang muncul terlampiaskan pada buah hati.
Suami Rusmi sudah sampai di hadapan Pak Hasan ketika beliau mengembalikan konsentrasi pada acara sungkeman ini. Menantunya ini mengambil tangan beliau dan merunduk, mencium tangan dengan khitmat. Sedangkan di samping, Rusmi terisak hebat dengan kepala di atas pangkuan Mak Diah. Akhirnya anak pertamanya itu tidak bisa lagi menahan diri untuk menangis.
Sampai di hadapannya dandanan Rusmi sudah berantakan. Pak Hasan tertawa kecil berusaha membuang atmosfer sedih di sekeliling mereka, juga menghapus jejak kekakuan di wajahnya. “Mukamu jelek, Rus.”
Rusmi tertawa di sela isak tangis mendengar ejekan Bapaknya ini. “Jelek juga anak Bapak, ‘kan?”
Pak Hasan terkekeh. Tangan kanannya menepuk-nepuk kepala Rusmi yang tertutup kerudung. Merasakan kasih sayang Bapaknya, air mata Rusmi pun kembali mengalir deras.
Diraihnya tangan Pak Hasan. Lalu di cium khitmat. Ditundukkannya kepala hingga menyentuh pangkuan Bapaknya itu. Sambil sesekali cegukan dia berkata, “Doakan Rusmi agar bisa menjadi istri dan ibu yang baik, Pak. Doakan agar Rusmi bisa menjadi orang tua yang hebat seperti Mamak dan Bapak. Maafkan Rusmi yang selalu menyusahkan Bapak. Terima kasih sudah memberikankasih sayang yang berlebih pada Rusmi. Rusmi sayang Bapak.”
Pak Hasan mengatup rapat bibir; Mengetatkan gigi, menahan air mata yang mendesak keluar mendengar ucapan putrinya ini. Beliau tidak mampu mengucapkan apapun. Hanya sebuah anggukan dan tepukan lembut di bahu Rusmi yang menunjukkan begitu besarnya cinta beliau.
Terkadang kata memang tidak diperlukan. Ikatan batin antara anak dan orang tua bisa menyampaikan kasih sayang tanpa ucapan. Dengan tepukan-tepukan lembut di bahu, Rusmi bisa mengerti bahwa sampai kapan pun orang tuanya—Pak Hasan dan Mak Diah—akan selalu ada untuk memberikan dukungan dan cinta ikhlas mereka. Hal ini membesarkan hati Rusmi. Mengantarkan energi positif sehingga membuatnya lebih percaya diri, juga yakin mampu menjalani hidup berumah tangga.
~°~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar