Rabu, 02 Juli 2014

A Story In Sungai Rengas; Kenangan 2

KENANGAN
               Liburan telah usai. Kegaiatan belajar-mengajar mulai dilakukan kembali pagi ini. Belum ada hal yang begitu berarti. Hari pertama mengajar hanya kuhabiskan dengan memperkenalkan diri pada para guru yang ada dan siswa yang akan kuajar nantinya. Kemudian memantau siswa kerja bakti membersihkan kelas yang 2 minggu mereka tinggalkan.
               Sambutan yang kuterima cukup hangat. Satu orang guru sudah kukenal sejak SD. Dua orang lainnya temanku ketika SMA yang tinggal di rumah dinas sebelah kami. Hari kemarin kami sudah sempat bertemu dan bertukar cerita. Sedangkan yang lain begitu asing. Hampir semua guru bukan penduduk asli Desa ini.
               Jam 9.30 pagi para siswa sudah diperbolehkan pulang. Tapi bukan meninggalkan sekolah, mereka malah pergi ke kantor guru meminjam peralatan olahraga pada Ari, guru olahraga kelas X, teman SD-ku itu. Beberapa siswa perempuan meminjam net dan bola voli. Siswa laki-laki meminjam bola takraw dan basket. Dan kumpulan paling banyak meminjam bola sepak.
               Aku yang hendak melangkah pulang mengurungkan niat. Menonton mereka bertanding sepertinya mengasyikkan. Sekaligus nostalgia dengan masa-masa aktif olahraga.
               Angin berhembus. Menggoyang kerudung lebar yang kupakai. Tenaganya membuat depan kerudungku berantakan.
Adak ikut maen, Sa—tidak ikut bermain, Sa?” tanya Ari tanpa disadari sudah berdiri tepat di sampingku.
               Dia lelaki gemuk dengan tinggi sekitar 168 centimeter. Kulitnya berwarna coklat terbakar matahari. Tidak banyak berubah darinya kecuali aura kedewasaan yang semakin terlihat.
               Aku taknyaman dengan jarak kami yang terlalu dekat menurut versi pribadi. Mengalihkan perhatiannya dengan menjawab, aku sekaligus memperlebar jarak kami. “Mok maen ape te bah, Ri—mau main apa coba, Ri? Udah ndak jago gik im—sudah tidak kuat lagi.”
               Ari tergelak. Masih menggunakan bahasa ibu kami dia berucap, “Belum juga tua, Sa.” Matanya menatap ke lapangan voli, dimana seorang siswa laki-laki sedang membantu para siswa perempuan memasang net. “Ingat, ‘kan? Waktu SD, hampir tiap sabtu kita ramai-ramai bersepeda ke SMP di Tayap supaya bisa bertanding voli.”
               Aku mengangguk, langsung teringat dengan masa itu. Kami, sesama anak kecil bersepeda ke Desa Kecamatan hanya untuk pertandingan persahabatan dengan SMP satu-satunya saat itu di wilayah kecamatan ini. Kurang lebih satu jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke sana. Namun itu tidak mengurangi rasa gembira sama sekali. Terlebih jika kami bisa menang melawan anak SMP yang jauh lebih tua.
               “Paling seru waktu sepatumu masuk lumpur, Ri,” sahutku kemudian, tertawa kecil. Tanah merah yang dimiliki daerah ini bisa menjadi bubur lumpur jika hujan, dan penyebab utama hujan debu kala kemarau. “Lalu, kamu yang paling payah main diserang kakak SMP dengan bola voli. Sudah sepatu hilang, jadi korban serangan pula.”
               Air menggaruk kepalanya. Tersenyum malu dia berkata, “Mengapa hal memalukan yang diingat?”
               Aku nyengir takenak hati. “Sorry, Ri.”
               Dia menggeleng. “Santai, Sa.” Perhatiannya beralih ke lapangan basket.
               Sepuluh siswa sudah berada di lapangan. Campur, siswa putra dan putri. Segerombolan yang lain berdiri di tepi lapangan, memberi dukungan pada temannya.
               “Kamu sudah jago olahraga sekarang, Ri?” teringat bahwa Ari benar-benar payah dalam olahraga. Dan sekarang malah menjadi guru olahraga. “Coba ikut mereka main.”
               “Bah eh—betul, ‘kan!” Ari tertawa. “Kamu itu cuma ingat yang jeleknya saja. Gawat kalau bertemu Susan. Jatuh reputasiku.”
               Aku kembali takenak hati. “In Shaa Allah tidak sampai ke telinga Kak Susan,” janjiku sambil mengingat agar bisa menjaga mulut jika nanti bertemu istri Ari yang merupakan teman SMA-ku. Ari sempat bilang sebelumnya kalau beliau sekarang mengajar di SD kami dulu. “Maaf ya, Ri! Kita satu sekolah cuma SD, ‘kan? jadi aku tidak tahu perkembangan selanjutnya.”
               Ari menumpukan lengannya ke atas papan pagar teras. Tubuhnya membungkuk nyaman. Dia menoleh padaku. “Selepas SD kamu kabur ke Kabupaten gara-gara patah hati, ‘kan?”
               Aku menangkap candaan dari kalimatnya. Langsung mengerti maksud tersirat ucapan itu. senyum geli muncul di wajahku. “Bukan, Ri. Hanya ingin melihat dunia lebih luas, kok.”
               Ari memutar bola mata mendengar kalimat sok bijakku itu. Pandangannya kembali mengarah ke lapangan sekolah.
               Aku mengikutinya. Juga memadang ke sana. Pada para siswa yang sedang bermain bola sepak. Sampai kapanpun sepertinya sepak bola akan menjadi olahraga terfavorit. Waktu SMA kami malah membuat klub sepak bola khusus putri. Anggota klub putra sering mengeluh karena kami selalu lebih dulu menguasai lapangan.
               “Dia belum menikah, Sa,” ucap Ari setelah kami cukup lama terdiam.
Aku memoleh padanya sekilas. Lalu kembali menatap lapangan. Berpura-pura sibuk melihat para siswa yang sedang asik main takraw.
“Sekarang ada di Tayap. Kerja di kecamatan,” lanjut Ari setelah tak mendapat respon dariku.
Lama aku terdiam. Ari pun sepertinya tidak ingin mengatakan hal lain. Menghela napas berat aku berkata, “Masa lalu, Ri. Cinta monyet ini.”
Ari mengangguk maklum. Konsentrasinya kembali pada para siswa. Sedangkan aku terpaksa kembali teringat dengan kisah akhir masa SD yang sengaja dilupakan.
Namanya Arta, teman seangkatan yang begitu kritis. Nakal, tapi cerdas. Bahkan Umak pun menempatnya sebagai siswa favorit.
Siapa mengira, aku yang waktu itu berusia 9 tahun tertarik padanya. Sebagai lelaki, dia menyebalkan. Namun sebagai teman belajar, dia tempat diskusi yang asik. Kami bersahabat akrab hingga kelas enam, saat seorang siswa pindahan datang.
Nadia namanya. Dia membuat Arta tertarik. Membuatnya berada ditengah-tengah persahabatan kami. Kemudian mencuri seluruh perhatian Arta. Bahkan Arta tidak menolongku waktu Anto—teman seangkatanku yang paking nakal—mengerjai. Arta terlalu sibuk di kantin, sarapan bersama Nadia.
Aku marah, marah besar. Merasa terkhianati. Sejak hari itu kami tidak bertegur sapa. Enam bulan sebelum kelulusan SD persahabatan kami hancur.
Namun itu sudah lama sekali. Aku sudah belajar menerima semua dan memaafkan. Mengubur kenangan buruk itu dalam-dalam agar rasa sakit hati takkembali. Hanya saja, masih ada perasaan taknyaman ketika ada yang menyinggung tentang itu.
“Sa,” panggil Ari menutup kenangan itu dari kepalaku. “Aku pulang duluan, ya.”
Aku mengangguk.
“Kamu belum ke bawah, ‘kan?” ujarnya menyebutkan lokasi SD kami berada.
“Belum,” gelengku.
“Kalau ke bawah, mampir ke rumah. Susan pasti senang.” Ari mengucap salam setelahnya.
Aku mengacungkan jempol, tanda “oke”. Lalu menjawab salam Ari. Dia pun berlalu.
Aku sendiri masih bertahan di sini. Menonton para siswa bermain tanpa beban. Sedikit iri, ingin kembali ke masa-masa remaja yang telah berlalu.
Beberapa guru yang hendak pulang menyapa basa-basi dengan senyum ramah.  Dua guru yang merupakan teman SMA-ku, Widia dan Tri, memutuskan bergabung. Kami pun sibuk menonton dan berkomentar sambil mengenang masa-masa SMA sampai bosan.
***

               Siang hari, selepas berbenah rumah, masak, dan salat dzuhur kuputuskan untuk ke bawah. Berkunjung ke rumah Ari dan Kak Susan sebentar sebelum ke rumah Nek Iting. Aku rindu keluarga beliau.
               Beliau hanya tetangga belakang rumah. namun kedekatan keluarga kami sudah seperti keluar sesungguhnya. Dulu aku sering bermain dengan Ucu Rida, anak bungsu Nek Iting.
Ucu Rida lebih tua enam tahun dariku. Dia kakak yang baik. Selalu menemaniku bermain. Juga menjagaku kalau Umak dan Bapak sedang pergi. Setelah menikah dengan Om Bet, Anis Ha memang tinggal cukup jauh. Jadi Ucu Rida menggantikan beliau.
Kakiku melangkah naik ke teras SD, memilih jalan yang teduh. Berlama-lama aku melangkah meneliti setiap jengkal banguna ini. Hatiku menghangat. Kerinduan akan Desa ini seperti tuntas terbayar setelah menginjak tempat ini.
Bangunannya memang banyak berubah. Dinding papan  sudah berganti semen. Atap sirap sudah diganti seng. Tapi tidak mengurangi kepuasan dalam diri. Kakiku berbelok menuju toilet di samping kelas IV. Penasaran apakah pohon mangga yang tumbuh di sana masih ada. Kegembiraan membuncah melihat pohon itu masih di sana. Sudah sangat tua memang.
Mengabaikan bau pesing yang tercium, mataku menatap takjub pada toilet yang dulu atapnya sering kami jadikan panggung konser dangdut abal-abal. Biasanya kami akan naik ke sana menggunakan pohon mangga sebagai tangga.
Toiletnya sudah diperbaharui. Atapnya tidak lagi kepingan sirap yang bolong. Menghapus niatku untuk angkat rok dan manjat ke sana.
Membuang kekecewaan yang timbul, kulontarkan pandangan ke tanah lapang depan toilet. Rerumputan itu masih di sana. Kami menyebutnya rumput bujang. Setiap konser, kami akan menganggap hamparan rumput itu sebagai penonton setia.
Namun rasa panas mulai membakar rasa senang. Hamparan kelapa sawit. Hutan belakang sekolah tempat bermainku sudah hilang. Tanah hitamnya terlihat kering. Sisi jahatku berharap dalam hati agar terjadi air pasang sehingga tanah itu terkena banjir, dan pohon-pohon sawit itu mati.
Astargfirullahaladziim! Kuucap istirgfar berkali-kali, berusaha mengusir harapan kejam itu. Sebenci apapun aku dengan kelapa sawit, benda itu tetap ciptaan Allah yang patut dihargai.
Kupalingkan wajah, lalu melangkah cepat-cepat. Menjauhi tempat ini adalah pilihan yang tepat. Tanpa bisa menikmati langkah seperti tadi, aku sampai di depan rumah Nek Iting.
Rumah itu tak berubah. Masih ada pohon bunga bugenvil di samping kiri dan kanan pagar pintu teras.Pohon jambu biji di sisi kiri teras. Pohon mangga di dekat pagar halaman tak jauh dari jambu. Dan pohon nangka di dekat pagar sebelah kanan.
Dua anjing kampung tampak mendengkur di bawah pohon nangka. Bisa jadi anjing liar atau milik Datuk Ngah, suami Nek Iting. Penduduk Desa ini sejak dulu biasa memelihara anjing sebagai penjaga rumah atau pun untuk membantu perburuan.
Dua ekor sapi terlihat sedang ngaso di dekat kandang mereka yang terletak di pojok halaman. Salah satunya masih kecil dan belum diberi pengikat. Mata sapi itu menatapku. Saat dia akan bergerak, aku bergegas membuka pintu pagar teras. Mengabaikan beberapa buah jambu biji yang tampak menggiurkan.
Kegaduhan yang kubuat tak menimbulkan keramaian berarti. Rumah ini masih tetap lengang. Pasti tuan rumah sedang sibuk di dapur atau tiduran di sana. Jarak dapur dan teras mencapai 25 meter.
Aku memberi salam sembari melangkah masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka. Kebiasaan lama yang sering kulakukan sejak dulu. Jawaban salam terdengar sayup-sayup dari arah dapur. Tepat seperti dugaanku.
Kudapati wanita berkulit putih di sana. Tubuhnya tinggi sekitar 160 centimeter. Sedikit gemuk. Namun wajah itu tak berubah. Wajah ramah seorang kakak. Ucu Rida.
Ucu Rida terpana beberapa saat ketika melihatku sebelum berseru, “Ya Allah, Sara!” Dia tampak takpercaya dengan penglihatannya. Bergerak dia memelukku penuh kerinduan seorang kakak terhadap adiknya. “Bile kau datang te—sejak kapan kamu datang?”
Aku sumringah. Memberi jarak dan mencium tangannya hormat. “Udah tige hari, Cu—sudah tiga hari, cu.”
Ndak,  udah lamak am—berarti sudah lama,” ucapnya masih memandangiku takpercaya. Matanya memerah perlahan, terlihat ingin memangis. “Ngape barok ke senek te—mengapa baru ke sini sekarang?”
Ada luapan penuh perasaan dalam hatiku. Membuat tenggorokan terasa panas. Memacu air mata untuk menetes, namun kutahan. Rasa haru ini lebih kuat daripada saat bertemu Anis Ha dan Om Bet waktu itu.
“Belum sempat kemarin. Harus mengurus kepindahan.” Kalimatku sedikit terputus-putus terdesak air mata yang memaksa keluar. “Sara ngajar di sini.”
Ucu Rida memelukku sekali lagi sebelum akhirnya sibuk menyiapkan makanan. “Belum makan, ‘kan? Ucu masak sayur asam pedas rebung asam ikan baung. Ada nasi beras tumbuk juga. Kemarin rindu beras tumbuk, jadi padinya tidak digiling. Kebetulan sekali kamu datang.”
Air liurku mencair di dalam mulut. Aku tergiur mencicipi. Sudah sepuluh tahun aku tidak makan nasi beras tumbuk. Hampir tiga tahun belum menyentuh sayur asam pedas rebung asam. Tanpa basa-basi menolak, aku mengangguk senang.
Aku berniat membantu, tapi Ucu Rida meminta untuk duduk saja menunggu. Aku pun menuju jendela dapur yang menghadap belakang rumah. Rasa sejuk yang damai mengisi rongga dadaku. Tidak berubah. Tidak ada kelapa sawit. Semua masih sama seperti dulu. Bedanya hanya pada pohon karet yang ditanam sebagai pagar belakang waktu dulu sebesar betis sudah tumbuh tinggi dan besar.
Lebih jauh lagi terlihat sungai kecil melintang. Dulu aku sering mandi di sana dengan Ucu Rida.
“Orang rumah kemana, Cu?” tanyaku sedikit terusik dengan kelengangan rumah ini.
“Nenek-Datukmu di ladang. Itu di belakang. Seberang sungai,” jawab Ucu Rida tanpa menghentikan kegiatannya.
Kutajamkan penglihatan. Benar juga. Di seberang sungai bukan semak belukar lagi, melainkan hamparan padi.
Masih teringat jelas dulu Umak, Ucu Rida, dan aku sering mencari kayu bakar di situ. Untuk ke sungai besar pun kami harus melewati tempat itu. Terkadang aku dan teman-teman juga bermain di sana. Mencari buah kelasi dan buah nasi. Sesekali burung enggang berwarna hitam putih dengan paruh jingga lewat di atas kami. Begitu indah. Begitu menakjubkan.
“Anak Ucu main ke rumah Ja. Ingat Ja, ‘kan?”
Aku mengangguk sambil mengingat-ngingat wajah Ja. Ingat namanya, tapi lupa rupanya.
“Abang kamu kerja,” lanjut Ucu Rida menjelaskan keberadaan Bang Amat, suaminya.
“Kerja apa Abang sekarang, Cu?”
Seingatku dulu Bang Amat kerja ngeret kayu. Sekarang penebangan liar sudah dilarang. Kalau ketahuan akan diadili. Meskipun tetap saja ada yang berani melanggar. Sampai saat ini Kabupaten Ketapang masih terkenal dengan kasus illegal logging-nya. Belum lagi berita yang menyatakan Kabupaten ini merupakan sarang mafia illegal logging.
               Miris!
               “Jadi mandor kelapa sawit, sa.”
               Aku manggut-manggut. Walau benci dengan kelapa sawit, tapi sepertinya dengan ada kebun kelapa sawit masyarakat di sini terbantu.
               “Sekarang dimana-mana kelapa sawit ya, Cu. Itu tanahnya mereka sewa atau beli?” kembali aku penasaran tentang ini.
               “Makan dulu, Sa.” Ucu Rida selesai menyiapkan makanan. Aku turun, duduk ke lantai tempat makanan disajikan. “Banyak yang dibeli. Belajar dari kejadian di Tembelina, penduduk tidak mau dibohongi.”
Aku mengerti maksud Ucu Rida. Perusahaan Kelapa Sawit di Tembelina di sita Bank karena tidak membayar cicilan dana modal. Uang untuk membayar cicilan dikorupsi. Padahal untuk modal sendiri menggunakan sertifikat tanah penduduk yang dipinjam sebagai jaminan. Pada akhirnya penduduk rugi karena hasil sawit mereka tidak dibayar dan sertifikat tanah pun tidak kembali.
“Tapi dibeli pun sama saja, Sa. Rata-rata penduduk tidak memiliki surat tanah. Pikirkan saja, tanah yang berada di daerah dan tanpa surat tanah. Harganya tidak akan sebanding dengan hasil yang di dapat perusahaan.” Ucu Rida melanjutkan.
               “Dan kerusakan tanah lahan,” sambungku geram.
               Ucu Rida tersenyum. “Ucu sempat mikir kalau tanah di sini dibeli bukan karena tidak ingin kejadian Tembelina terulang, tapi memang tidak ada sertifikat tanah yang bisa digadaikan.”
               “Bisa jadi,” sahutku.
               “Sudah, sekarang makan.”
               Aku mengangguk. “Ucu tidak makan?”
               “Ucu baru selesai makan tadi,” jawab Ucu Rida. “Makan saja yang banyak. Sudah lama tidak makan begini, ‘kan?”
               Tersenyum malu-malu aku menarik piring, lalu menyendok nasi. Aroma nasi beras tumbuk menggugah indra penciumanku, lalu cacing-cacing di perut. Aroma sayur asam pedas rebung asam ikan baungnya juga semakin menambah hasrat makan. Ini pasti nikmat sekali!
               Alhamdulillah aku masih bisa merasakan makanan seperti ini lagi. Meski sekali lagi aku tetap kecewa dengan kelapa sawit yang merubah Desa ini, tapi banyaknya tempat kenangan yang utuh menumbuhkan rasa syukur yang tak terkira. Aku berharap syukur ini tak akan pernah pupus.
***

Adzan maghrib hampir berkumandang saat aku sampai di depan rumah dinas. Ucu Rida memintaku ikut main voli bersama di lapangan voli SD. Dan baru saja selesai 15 menit lalu.
               Sebuah mobil Jeep yang terparkir di halaman mengganggu indra penglihatan. Aku jadi penasaran. Rasa penasaran semakin menjadi mendapati sandal lelaki tergeletak di delan pintu. Lelaki sopan mana bertamu ke rumah wanita ketika maghrib akan datang?
               Aku yakin wajahku terlihat masam. Sepertinya itu sangat jelas sehingga lelaki itu tersenyum taknyaman mendapatiku masuk. Kuanggukkan kepala sedikit sebagai tindakan kesopanan. Lalu langsung memalingkan muka. Kemudian segera  berlalu ke kamar.
               Kututup pintu kamar cepat-cepat. Langsung bersandar di sana setelahnya. Debaran jantungku sangat cepat setelah desiran aneh muncul waktu melihat wajah lelaki tadi. Perasaan apa ini?
               Debaran itu tetap ada meski istirgfar sudah kuucap banyak. Kudengar percakapan singkat yang akrab antara lelaki itu dengan Kak Chlo. Lalu suara berpamitan. Kemudian deru mobil Jeep yang menjauh. Baru debaran itu hilang.
               Tubuhku merinding. Ini membuatku takut. Apa lelaki itu berbahaya?
               Ya Allah! Kembali aku beristirgfar sebelum kemudian bergerak keluar untuk mengambil wudhu.
               Semoga tidak akan terjadi hal buruk.
***
Bersambung....

1.      Iting = keriting. Karena rambutnya keriting Nek Iting di panggil Nek Iting.
2.      Ucu = sebutan untuk anak bungsu.
3.      Ngah = sebutan untuk anak tengah
4.      Ngeret = Aku tidak tahu arti pastinya, tapi para penebang kayu jika pergi bekerja biasa di sebut ngeret kayu. Ngeret kayu dilakukan di dalam hutan. Penebang kayu bisa berada di lokasi seminggu bahkan berbulan-bulan.




            




Tidak ada komentar:

Posting Komentar