KENANGAN
Liburan telah usai.
Kegaiatan belajar-mengajar mulai dilakukan kembali pagi ini. Belum ada
hal yang begitu berarti. Hari pertama mengajar hanya kuhabiskan dengan
memperkenalkan diri pada para guru yang ada dan siswa yang akan kuajar
nantinya. Kemudian memantau siswa kerja bakti membersihkan kelas yang 2
minggu mereka tinggalkan.
Sambutan yang kuterima
cukup hangat. Satu orang guru sudah kukenal sejak SD. Dua orang lainnya
temanku ketika SMA yang tinggal di rumah dinas sebelah kami. Hari
kemarin kami sudah sempat bertemu dan bertukar cerita. Sedangkan yang
lain begitu asing. Hampir semua guru bukan penduduk asli Desa ini.
Jam 9.30 pagi para siswa sudah diperbolehkan pulang. Tapi bukan
meninggalkan sekolah, mereka malah pergi ke kantor guru meminjam
peralatan olahraga pada Ari, guru olahraga kelas X, teman SD-ku itu.
Beberapa siswa perempuan meminjam net dan bola voli. Siswa laki-laki
meminjam bola takraw dan basket. Dan kumpulan paling banyak meminjam
bola sepak.
Aku yang hendak melangkah pulang
mengurungkan niat. Menonton mereka bertanding sepertinya mengasyikkan.
Sekaligus nostalgia dengan masa-masa aktif olahraga.
Angin berhembus. Menggoyang kerudung lebar yang kupakai. Tenaganya membuat depan kerudungku berantakan.
“Adak ikut maen, Sa—tidak ikut bermain, Sa?” tanya Ari tanpa disadari sudah berdiri tepat di sampingku.
Dia lelaki gemuk dengan tinggi sekitar 168 centimeter. Kulitnya
berwarna coklat terbakar matahari. Tidak banyak berubah darinya kecuali
aura kedewasaan yang semakin terlihat.
Aku
taknyaman dengan jarak kami yang terlalu dekat menurut versi pribadi.
Mengalihkan perhatiannya dengan menjawab, aku sekaligus memperlebar
jarak kami. “Mok maen ape te bah, Ri—mau main apa coba, Ri? Udah ndak jago gik im—sudah tidak kuat lagi.”
Ari tergelak. Masih menggunakan bahasa ibu kami dia berucap, “Belum
juga tua, Sa.” Matanya menatap ke lapangan voli, dimana seorang siswa
laki-laki sedang membantu para siswa perempuan memasang net. “Ingat,
‘kan? Waktu SD, hampir tiap sabtu kita ramai-ramai bersepeda ke SMP di
Tayap supaya bisa bertanding voli.”
Aku mengangguk,
langsung teringat dengan masa itu. Kami, sesama anak kecil bersepeda ke
Desa Kecamatan hanya untuk pertandingan persahabatan dengan SMP
satu-satunya saat itu di wilayah kecamatan ini. Kurang lebih satu jam
waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke sana. Namun itu tidak
mengurangi rasa gembira sama sekali. Terlebih jika kami bisa menang
melawan anak SMP yang jauh lebih tua.
“Paling seru
waktu sepatumu masuk lumpur, Ri,” sahutku kemudian, tertawa kecil. Tanah
merah yang dimiliki daerah ini bisa menjadi bubur lumpur jika hujan,
dan penyebab utama hujan debu kala kemarau. “Lalu, kamu yang paling
payah main diserang kakak SMP dengan bola voli. Sudah sepatu hilang,
jadi korban serangan pula.”
Air menggaruk kepalanya. Tersenyum malu dia berkata, “Mengapa hal memalukan yang diingat?”
Aku nyengir takenak hati. “Sorry, Ri.”
Dia menggeleng. “Santai, Sa.” Perhatiannya beralih ke lapangan basket.
Sepuluh siswa sudah berada di lapangan. Campur, siswa putra dan putri.
Segerombolan yang lain berdiri di tepi lapangan, memberi dukungan pada
temannya.
“Kamu sudah jago olahraga sekarang, Ri?”
teringat bahwa Ari benar-benar payah dalam olahraga. Dan sekarang malah
menjadi guru olahraga. “Coba ikut mereka main.”
“Bah eh—betul, ‘kan!” Ari tertawa. “Kamu itu cuma ingat yang jeleknya
saja. Gawat kalau bertemu Susan. Jatuh reputasiku.”
Aku kembali takenak hati. “In Shaa Allah
tidak sampai ke telinga Kak Susan,” janjiku sambil mengingat agar bisa
menjaga mulut jika nanti bertemu istri Ari yang merupakan teman SMA-ku.
Ari sempat bilang sebelumnya kalau beliau sekarang mengajar di SD kami
dulu. “Maaf ya, Ri! Kita satu sekolah cuma SD, ‘kan? jadi aku tidak tahu
perkembangan selanjutnya.”
Ari menumpukan
lengannya ke atas papan pagar teras. Tubuhnya membungkuk nyaman. Dia
menoleh padaku. “Selepas SD kamu kabur ke Kabupaten gara-gara patah
hati, ‘kan?”
Aku menangkap candaan dari kalimatnya.
Langsung mengerti maksud tersirat ucapan itu. senyum geli muncul di
wajahku. “Bukan, Ri. Hanya ingin melihat dunia lebih luas, kok.”
Ari memutar bola mata mendengar kalimat sok bijakku itu. Pandangannya kembali mengarah ke lapangan sekolah.
Aku mengikutinya. Juga memadang ke sana. Pada para siswa yang sedang
bermain bola sepak. Sampai kapanpun sepertinya sepak bola akan menjadi
olahraga terfavorit. Waktu SMA kami malah membuat klub sepak bola khusus
putri. Anggota klub putra sering mengeluh karena kami selalu lebih dulu
menguasai lapangan.
“Dia belum menikah, Sa,” ucap Ari setelah kami cukup lama terdiam.
Aku memoleh padanya sekilas. Lalu kembali menatap lapangan. Berpura-pura sibuk melihat para siswa yang sedang asik main takraw.
“Sekarang ada di Tayap. Kerja di kecamatan,” lanjut Ari setelah tak mendapat respon dariku.
Lama
aku terdiam. Ari pun sepertinya tidak ingin mengatakan hal lain.
Menghela napas berat aku berkata, “Masa lalu, Ri. Cinta monyet ini.”
Ari
mengangguk maklum. Konsentrasinya kembali pada para siswa. Sedangkan
aku terpaksa kembali teringat dengan kisah akhir masa SD yang sengaja
dilupakan.
Namanya Arta, teman seangkatan yang begitu kritis. Nakal, tapi cerdas. Bahkan Umak pun menempatnya sebagai siswa favorit.
Siapa
mengira, aku yang waktu itu berusia 9 tahun tertarik padanya. Sebagai
lelaki, dia menyebalkan. Namun sebagai teman belajar, dia tempat diskusi
yang asik. Kami bersahabat akrab hingga kelas enam, saat seorang siswa
pindahan datang.
Nadia namanya. Dia membuat Arta tertarik.
Membuatnya berada ditengah-tengah persahabatan kami. Kemudian mencuri
seluruh perhatian Arta. Bahkan Arta tidak menolongku waktu Anto—teman
seangkatanku yang paking nakal—mengerjai. Arta terlalu sibuk di kantin,
sarapan bersama Nadia.
Aku marah, marah besar. Merasa terkhianati.
Sejak hari itu kami tidak bertegur sapa. Enam bulan sebelum kelulusan
SD persahabatan kami hancur.
Namun itu sudah lama sekali. Aku
sudah belajar menerima semua dan memaafkan. Mengubur kenangan buruk itu
dalam-dalam agar rasa sakit hati takkembali. Hanya saja, masih ada
perasaan taknyaman ketika ada yang menyinggung tentang itu.
“Sa,” panggil Ari menutup kenangan itu dari kepalaku. “Aku pulang duluan, ya.”
Aku mengangguk.
“Kamu belum ke bawah, ‘kan?” ujarnya menyebutkan lokasi SD kami berada.
“Belum,” gelengku.
“Kalau ke bawah, mampir ke rumah. Susan pasti senang.” Ari mengucap salam setelahnya.
Aku mengacungkan jempol, tanda “oke”. Lalu menjawab salam Ari. Dia pun berlalu.
Aku
sendiri masih bertahan di sini. Menonton para siswa bermain tanpa
beban. Sedikit iri, ingin kembali ke masa-masa remaja yang telah
berlalu.
Beberapa guru yang hendak pulang menyapa basa-basi dengan
senyum ramah. Dua guru yang merupakan teman SMA-ku, Widia dan Tri,
memutuskan bergabung. Kami pun sibuk menonton dan berkomentar sambil
mengenang masa-masa SMA sampai bosan.
***
Siang hari, selepas berbenah rumah, masak, dan salat dzuhur kuputuskan
untuk ke bawah. Berkunjung ke rumah Ari dan Kak Susan sebentar sebelum
ke rumah Nek Iting. Aku rindu keluarga beliau.
Beliau hanya tetangga belakang rumah. namun kedekatan keluarga kami
sudah seperti keluar sesungguhnya. Dulu aku sering bermain dengan Ucu
Rida, anak bungsu Nek Iting.
Ucu Rida lebih tua enam tahun dariku.
Dia kakak yang baik. Selalu menemaniku bermain. Juga menjagaku kalau
Umak dan Bapak sedang pergi. Setelah menikah dengan Om Bet, Anis Ha
memang tinggal cukup jauh. Jadi Ucu Rida menggantikan beliau.
Kakiku
melangkah naik ke teras SD, memilih jalan yang teduh. Berlama-lama aku
melangkah meneliti setiap jengkal banguna ini. Hatiku menghangat.
Kerinduan akan Desa ini seperti tuntas terbayar setelah menginjak tempat
ini.
Bangunannya memang banyak berubah. Dinding papan sudah
berganti semen. Atap sirap sudah diganti seng. Tapi tidak mengurangi
kepuasan dalam diri. Kakiku berbelok menuju toilet di samping kelas IV.
Penasaran apakah pohon mangga yang tumbuh di sana masih ada. Kegembiraan
membuncah melihat pohon itu masih di sana. Sudah sangat tua memang.
Mengabaikan
bau pesing yang tercium, mataku menatap takjub pada toilet yang dulu
atapnya sering kami jadikan panggung konser dangdut abal-abal. Biasanya
kami akan naik ke sana menggunakan pohon mangga sebagai tangga.
Toiletnya
sudah diperbaharui. Atapnya tidak lagi kepingan sirap yang bolong.
Menghapus niatku untuk angkat rok dan manjat ke sana.
Membuang
kekecewaan yang timbul, kulontarkan pandangan ke tanah lapang depan
toilet. Rerumputan itu masih di sana. Kami menyebutnya rumput bujang.
Setiap konser, kami akan menganggap hamparan rumput itu sebagai penonton
setia.
Namun rasa panas mulai membakar rasa senang. Hamparan
kelapa sawit. Hutan belakang sekolah tempat bermainku sudah hilang.
Tanah hitamnya terlihat kering. Sisi jahatku berharap dalam hati agar
terjadi air pasang sehingga tanah itu terkena banjir, dan pohon-pohon
sawit itu mati.
Astargfirullahaladziim! Kuucap istirgfar
berkali-kali, berusaha mengusir harapan kejam itu. Sebenci apapun aku
dengan kelapa sawit, benda itu tetap ciptaan Allah yang patut dihargai.
Kupalingkan
wajah, lalu melangkah cepat-cepat. Menjauhi tempat ini adalah pilihan
yang tepat. Tanpa bisa menikmati langkah seperti tadi, aku sampai di
depan rumah Nek Iting.
Rumah itu tak berubah. Masih ada pohon
bunga bugenvil di samping kiri dan kanan pagar pintu teras.Pohon jambu
biji di sisi kiri teras. Pohon mangga di dekat pagar halaman tak jauh
dari jambu. Dan pohon nangka di dekat pagar sebelah kanan.
Dua
anjing kampung tampak mendengkur di bawah pohon nangka. Bisa jadi anjing
liar atau milik Datuk Ngah, suami Nek Iting. Penduduk Desa ini sejak
dulu biasa memelihara anjing sebagai penjaga rumah atau pun untuk
membantu perburuan.
Dua ekor sapi terlihat sedang ngaso
di dekat kandang mereka yang terletak di pojok halaman. Salah satunya
masih kecil dan belum diberi pengikat. Mata sapi itu menatapku. Saat dia
akan bergerak, aku bergegas membuka pintu pagar teras. Mengabaikan
beberapa buah jambu biji yang tampak menggiurkan.
Kegaduhan yang
kubuat tak menimbulkan keramaian berarti. Rumah ini masih tetap lengang.
Pasti tuan rumah sedang sibuk di dapur atau tiduran di sana. Jarak
dapur dan teras mencapai 25 meter.
Aku memberi salam sembari
melangkah masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka. Kebiasaan lama
yang sering kulakukan sejak dulu. Jawaban salam terdengar sayup-sayup
dari arah dapur. Tepat seperti dugaanku.
Kudapati wanita berkulit
putih di sana. Tubuhnya tinggi sekitar 160 centimeter. Sedikit gemuk.
Namun wajah itu tak berubah. Wajah ramah seorang kakak. Ucu Rida.
Ucu
Rida terpana beberapa saat ketika melihatku sebelum berseru, “Ya Allah,
Sara!” Dia tampak takpercaya dengan penglihatannya. Bergerak dia
memelukku penuh kerinduan seorang kakak terhadap adiknya. “Bile kau datang te—sejak kapan kamu datang?”
Aku sumringah. Memberi jarak dan mencium tangannya hormat. “Udah tige hari, Cu—sudah tiga hari, cu.”
“Ndak, udah lamak am—berarti sudah lama,” ucapnya masih memandangiku takpercaya. Matanya memerah perlahan, terlihat ingin memangis. “Ngape barok ke senek te—mengapa baru ke sini sekarang?”
Ada
luapan penuh perasaan dalam hatiku. Membuat tenggorokan terasa panas.
Memacu air mata untuk menetes, namun kutahan. Rasa haru ini lebih kuat
daripada saat bertemu Anis Ha dan Om Bet waktu itu.
“Belum sempat
kemarin. Harus mengurus kepindahan.” Kalimatku sedikit terputus-putus
terdesak air mata yang memaksa keluar. “Sara ngajar di sini.”
Ucu
Rida memelukku sekali lagi sebelum akhirnya sibuk menyiapkan makanan.
“Belum makan, ‘kan? Ucu masak sayur asam pedas rebung asam ikan baung.
Ada nasi beras tumbuk juga. Kemarin rindu beras tumbuk, jadi padinya
tidak digiling. Kebetulan sekali kamu datang.”
Air liurku mencair
di dalam mulut. Aku tergiur mencicipi. Sudah sepuluh tahun aku tidak
makan nasi beras tumbuk. Hampir tiga tahun belum menyentuh sayur asam
pedas rebung asam. Tanpa basa-basi menolak, aku mengangguk senang.
Aku
berniat membantu, tapi Ucu Rida meminta untuk duduk saja menunggu. Aku
pun menuju jendela dapur yang menghadap belakang rumah. Rasa sejuk yang
damai mengisi rongga dadaku. Tidak berubah. Tidak ada kelapa sawit.
Semua masih sama seperti dulu. Bedanya hanya pada pohon karet yang
ditanam sebagai pagar belakang waktu dulu sebesar betis sudah tumbuh
tinggi dan besar.
Lebih jauh lagi terlihat sungai kecil melintang. Dulu aku sering mandi di sana dengan Ucu Rida.
“Orang rumah kemana, Cu?” tanyaku sedikit terusik dengan kelengangan rumah ini.
“Nenek-Datukmu di ladang. Itu di belakang. Seberang sungai,” jawab Ucu Rida tanpa menghentikan kegiatannya.
Kutajamkan penglihatan. Benar juga. Di seberang sungai bukan semak belukar lagi, melainkan hamparan padi.
Masih
teringat jelas dulu Umak, Ucu Rida, dan aku sering mencari kayu bakar
di situ. Untuk ke sungai besar pun kami harus melewati tempat itu.
Terkadang aku dan teman-teman juga bermain di sana. Mencari buah kelasi
dan buah nasi. Sesekali burung enggang berwarna hitam putih dengan paruh
jingga lewat di atas kami. Begitu indah. Begitu menakjubkan.
“Anak Ucu main ke rumah Ja. Ingat Ja, ‘kan?”
Aku mengangguk sambil mengingat-ngingat wajah Ja. Ingat namanya, tapi lupa rupanya.
“Abang kamu kerja,” lanjut Ucu Rida menjelaskan keberadaan Bang Amat, suaminya.
“Kerja apa Abang sekarang, Cu?”
Seingatku dulu Bang Amat kerja ngeret
kayu. Sekarang penebangan liar sudah dilarang. Kalau ketahuan akan
diadili. Meskipun tetap saja ada yang berani melanggar. Sampai saat ini
Kabupaten Ketapang masih terkenal dengan kasus illegal logging-nya. Belum lagi berita yang menyatakan Kabupaten ini merupakan sarang mafia illegal logging.
Miris!
“Jadi mandor kelapa sawit, sa.”
Aku manggut-manggut. Walau benci dengan kelapa sawit, tapi sepertinya
dengan ada kebun kelapa sawit masyarakat di sini terbantu.
“Sekarang dimana-mana kelapa sawit ya, Cu. Itu tanahnya mereka sewa
atau beli?” kembali aku penasaran tentang ini.
“Makan dulu, Sa.” Ucu Rida selesai menyiapkan makanan. Aku turun, duduk
ke lantai tempat makanan disajikan. “Banyak yang dibeli. Belajar dari
kejadian di Tembelina, penduduk tidak mau dibohongi.”
Aku mengerti
maksud Ucu Rida. Perusahaan Kelapa Sawit di Tembelina di sita Bank
karena tidak membayar cicilan dana modal. Uang untuk membayar cicilan
dikorupsi. Padahal untuk modal sendiri menggunakan sertifikat tanah
penduduk yang dipinjam sebagai jaminan. Pada akhirnya penduduk rugi
karena hasil sawit mereka tidak dibayar dan sertifikat tanah pun tidak
kembali.
“Tapi dibeli pun sama saja, Sa. Rata-rata penduduk tidak
memiliki surat tanah. Pikirkan saja, tanah yang berada di daerah dan
tanpa surat tanah. Harganya tidak akan sebanding dengan hasil yang di
dapat perusahaan.” Ucu Rida melanjutkan.
“Dan kerusakan tanah lahan,” sambungku geram.
Ucu Rida tersenyum. “Ucu sempat mikir kalau tanah di sini dibeli bukan
karena tidak ingin kejadian Tembelina terulang, tapi memang tidak ada
sertifikat tanah yang bisa digadaikan.”
“Bisa jadi,” sahutku.
“Sudah, sekarang makan.”
Aku mengangguk. “Ucu tidak makan?”
“Ucu baru selesai makan tadi,” jawab Ucu Rida. “Makan saja yang banyak. Sudah lama tidak makan begini, ‘kan?”
Tersenyum malu-malu aku menarik piring, lalu menyendok nasi. Aroma nasi
beras tumbuk menggugah indra penciumanku, lalu cacing-cacing di perut.
Aroma sayur asam pedas rebung asam ikan baungnya juga semakin menambah
hasrat makan. Ini pasti nikmat sekali!
Alhamdulillah
aku masih bisa merasakan makanan seperti ini lagi. Meski sekali lagi
aku tetap kecewa dengan kelapa sawit yang merubah Desa ini, tapi
banyaknya tempat kenangan yang utuh menumbuhkan rasa syukur yang tak
terkira. Aku berharap syukur ini tak akan pernah pupus.
***
Adzan
maghrib hampir berkumandang saat aku sampai di depan rumah dinas. Ucu
Rida memintaku ikut main voli bersama di lapangan voli SD. Dan baru saja
selesai 15 menit lalu.
Sebuah mobil Jeep
yang terparkir di halaman mengganggu indra penglihatan. Aku jadi
penasaran. Rasa penasaran semakin menjadi mendapati sandal lelaki
tergeletak di delan pintu. Lelaki sopan mana bertamu ke rumah wanita
ketika maghrib akan datang?
Aku yakin wajahku
terlihat masam. Sepertinya itu sangat jelas sehingga lelaki itu
tersenyum taknyaman mendapatiku masuk. Kuanggukkan kepala sedikit
sebagai tindakan kesopanan. Lalu langsung memalingkan muka. Kemudian
segera berlalu ke kamar.
Kututup pintu kamar
cepat-cepat. Langsung bersandar di sana setelahnya. Debaran jantungku
sangat cepat setelah desiran aneh muncul waktu melihat wajah lelaki
tadi. Perasaan apa ini?
Debaran itu tetap ada meski
istirgfar sudah kuucap banyak. Kudengar percakapan singkat yang akrab
antara lelaki itu dengan Kak Chlo. Lalu suara berpamitan. Kemudian deru
mobil Jeep yang menjauh. Baru debaran itu hilang.
Tubuhku merinding. Ini membuatku takut. Apa lelaki itu berbahaya?
Ya Allah! Kembali aku beristirgfar sebelum kemudian bergerak keluar untuk mengambil wudhu.
Semoga tidak akan terjadi hal buruk.
***
Bersambung....
1. Iting = keriting. Karena rambutnya keriting Nek Iting di panggil Nek Iting.
2. Ucu = sebutan untuk anak bungsu.
3. Ngah = sebutan untuk anak tengah
4.
Ngeret = Aku tidak tahu arti pastinya, tapi para penebang kayu jika
pergi bekerja biasa di sebut ngeret kayu. Ngeret kayu dilakukan di dalam
hutan. Penebang kayu bisa berada di lokasi seminggu bahkan
berbulan-bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar