Sabtu, 21 Juni 2014

CHEESECAKE, TEASET, AND CEREAL; CHEESECAKE 5



            “Tila, sudah ya ... Kita istirahat ya!” rayu Abi pada Atila yang asik berlari kesana kemari di atas pasir kecoklatan. Bukan karena dia letih, tapi pasir yang cukup tebal membuat bayi itu beberapa kali terjatuh. Abi takut Atila terluka.
            Atila yang mendengar itu malah tertawa, menunjukkan susunan giginya yang belum sempurna. Rayuan Abi dianggap sebagai ajakan untuk terus bermain.
            “Eh!” seru Atila diikuti tubuhnya yang limbung, lalu jatuh.
            Abi berhenti bernapas sesaat, kaget dan cemas. Bagaimana kalau ada batu di bawah tubuh Atila? Kalau tidak, potongan ranting mungkin? Itu akan membuat Atila terluka. Tapi, sesaat kemudian menghembuskan napas lega melihat Atila kembali tertawa. Bayi yang baru berusia tiga tahun itu mengerjainya.
            Tidak ingin dikerjai dua kali Abi bergerak cepat ke arah Atila dan menggendongnya. “Sudah, ya ... Kita berteduh dulu. Di sini panas. Nanti kamu demam.”
            Atila yang belum terlalu mengerti kalimat Abi merengek minta diturunkan. Dia masih ingin bermain. Namun Abi bertahan untuk tidak luluh melihat wajah memelas itu. ini demi kebaikan Atila juga.
            Dia membawa Atila duduk berteduh di bawah gazebo depan salah satu warung yang sengaja disediakan pemiliknya setelah memesan sebuah kelapa muda. Sengaja tidak meminta es. Dia tidak tahu apakah tubuh Atila bisa menanggulangi dingin es setelah sebelumnya berpanas-panasan. Panas dalam, lalu demam bisa saja terjadi.
            Atila yang awalnya masih merengek langsung sibuk di depan meja. Segera melupakan keinginan berpanas-panasan. Sekarang asik memukul-mukul permukaan meja dengan kedua telapak tangan layaknya menabuh gendang.
            Abi membiarkan Atila, namun tetap berjaga-jaga siapa tahu bayi itu bergerak tak terarah. Gazebo ini cukup tinggi bagi seorang bayi.
            “Anaknya aktif ya, Mba’!” seru pemilik warung beramah-tamah sembari meletakkan sebuah kelapa muda ke atas meja.
            Mata Atila langsung berpindah ke benda tersebut. Tangannya mulai terulur untuk menjangkau benda itu.
            “Iya, Bu,” jawab Abi tersenyum, sekaligus menggeser kelapa muda tadi jauh dari jangkauan Atila.
            Atila tidak menyerah. Setengah badannya sudah naik ke atas meja.
            “Usianya tiga tahun ya, Mba’?” tebak Ibu itu, ikut duduk di gazebo.
            Abi mengangguk. “Tiga tahun satu bulan.” Setidaknya itu yang Abdiel katakan waktu dia bertanya saat dalam perjalanan ke pantai ini.
            Tangannya meraih Atila yang hendak memutar ke bagian lebih dekat dengan kelapa muda tadi. Diletakkan bayi itu ke pangkuannya. Sebelah tangannya menahan tubuh Atila yang hendak berdiri kembali, sedangkan sebelah lagi menyendok daging kelapa muda dan menyuapkan benda itu ke mulut kecil bayi ini.
            Dengan gigi seadanya, Atila mengunyah daging kelapa muda itu sehingga menunjukkan mimik lucu. Ibu pemilik warung tertawa melihatnya.
            “Giginya belum banyak ya, Mba’!” komentar Ibu itu di sela tawa.
            “Iya nih, Bu. Baru enam di atas dan delapan di bawah,” respon Abi membenarkan. “Giginya agak terlambat tumbuh.”
           Ibu itu manggut-manggut. Dia menyapa Atila dengan bahasa jawa, “Namanya siapa?”
            Atila berhenti mengunyah. Mengamati Ibu itu, lalu menjawab, “Tila.”
            Abi sedikit terkejut mendengar Atila menjawab. Padahal dia butuh waktu hampir setengah jam untuk dekat dengan bayi ini. lalu butuh waktu dua jam untuk mendengarnya bicara. Dan selama satu jam dia bermain dengan Atila, bayi ini tidak begitu mengerti kalimatnya.
            Kemudian Abi menggerutu dalam hati mengutuku kebodohannya. Bisa jadi orang tua Atila merupakan orang jawa asli. Jadi anak ini tidak begitu mengerti Bahasa Indonesia.
            “Lagi!” seru Atila menyentuh tangan Abi.
            Abi tersadar. Langsung disendoknya lagi daging buah kelapa muda, kemudian menyuapkan pada Atila.
            “Wah, pintarnya!” Ibu pemilik warung terlihat kagum. Terus saja dia mengamati Atila. Mungkin akan duduk lama bersama mereka kalau tidak ada yang membeli.
            Abi memegang buah kelapa muda itu dengan kedua tangannya. Membiarkan Atila menyedot airnya saat Ibu itu pamit meninggalkan mereka. Kali ini tanpa bisa dicegah Atila menguasai sendok dan mulai mengaduk-aduk isinya, berusaha mengambil daging buah tersebut. Abi pasrah, membiarkan Atila bertindak sesuka hati karena kedua tangannya menumpu buah itu.
***

            Dari kejauhan, Abdiel yang baru selesai salat dzuhur tersenyum melihat kedekatan Abi dan Atila. Dia sengaja membawa Atila agar Abi merasa nyaman jalan dengannya karena tahu gadis itu memiliki kewaspadaan tinggi. Selain itu juga ingin tahu seberapa tinggi level kemampuan Abi menangani seorang bayi.
            Alasan terakhir itu yang membawa mereka ke ini. Salah satu pantai yang ada di Wonosari, Yogyakarta. Butuh waktu tempuh kurang lebih dua jam untuk sampai ke lokasi. Dengan begitu mereka tidak bisa buru-buru mengembalikan Atila ke kedua orang tuanya jika mulai cerewet.
            Sejauh ini Abi bisa menangani Atila dengan baik. Tindakannya menunjukkan bahwa sudah terbiasa mengasuh bayi. Layak untuk dipertimbangkan lebih serius.
            Abdiel tersenyum geli mengingat awal pertemuan mereka 10 hari lalu. Tidak pernah terpikirkan sama sekali hari itu dia akan mengucapkan ajakan menikah pada gadis yang baru dikenal. Padahal dia berada di cafe hanya ingin minum kopi. Bersantai melupakan suntuk sementara waktu.
            Usia 35 menjadi usia yang berat jika Ibu kita mulai gencar menanyakan pernikahan. Belum lagi rasa iri merasuk melihat orang sekitar tampak bahagia berkumpul dengan anak dan istri. Empat dari lima sahabatnya juga sudah berumah tangga. Hanya Andien dan dia yang masih betah sendiri. Jadi tidak perlu repot memupuk, keinginan membangun rumah tangga itu tumbuh subur bagai jamur di tanah basah.
            Sempat terpikir untuk berkompromi dengan Andien. Tidak ada salahnya mencoba mendiskusikan hal ini pada sahabat yang juga masih belum menemukan kekasih hati. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mana tahu kecocokan mereka dalam bersahabat juga sama cocoknya kalau menjadi suami-istri. Namun belum sempat niat itu terlaksana takdir itu pun datang.
            Ketika menyesap kopi kesekian, dua gadis masuk ke dalam cafe dan duduk tepat di meja belakangnya. Tanpa memikirkan sekeliling mereka berbicara masalah pribadi dengan lancar. Dirinya yang tidak berniat tahu urusan orang lain secara tidak sengaja ikut masuk mendengarkan pembicaraan.
            Tidak disangka permasalahnya dengan salah satu gadis itu sama. Tentang menjalin hubungan dalam sebuah pernikahan.
Kalimat-kalimat yang mengalir lancar keluar dari mulut gadis itu membuatnya tertarik. Rasa penasaran pun mendesaknya. Maka, saat teman gadis itu pergi tanpa bisa mengendalikan diri dia menengok kebelakang. Ternyata gadis itu sedang melamun. Wajah melamun itu sangat menarik. Memaksanya bergerak pindah. Duduk di kursi kosong yang tadi di pakai oleh teman gadis itu. dan akhirnya pembicaraan mengalir begitu saja.
Gadis itu, Abi, bukanlah wanita tercantik yang pernah dia lihat. Cantik itu sangat relatif. Namun ada sesuatu dalam diri Abi yang menariknya bagai magnet beda kutub. Membuatnya ingin mengenal Abi lebih jauh lagi.
Ajakan menikah itu pun terucap. Bukan sebuah gurauan, melainkan penawaran. Jika hari itu Abi menolak, masih ada Andien yang bisa diajak bekerjasama. Dan beruntung sekali Abi tidak menolak sungguh-sungguh, walau tidak menerima juga.
Lalu disinilah mereka. Berusaha saling mengenal secara singkat dengan trik-trik tertentu yang mungkin tidak pernah terikirkan oleh orang yang berpacaran. Mencari kecocokan di sela waktu yang sedikit. Berharap tidak akan sia-sia sehingga mampu memberi keputusan yang diinginkan, belajar mencintai dalam sebuah ikatan pernikahan.
***

            Abdiel mendapat sebuah senyuman saat melewati Abi. Reflek dia membalas senyuman itu.
“Tidak memesan yang lain?” tanyanya ketika sudah duduk di gazebo.
            “Belum,” sahut Abi sembari meletakkan kembali buah kelapa muda ke atas meja.
            Atila tidak melepaskan tangannya dari sendok sehingga secara otomatis berdiri. Dengan sebelah tangan bertumpu pada meja, dia kembali asik bermain dengan sendok dan air kelapa muda.
            “Aa’ mau pesan makanan atau minuman?” tanya Abi. “Biar sekalian kupesankan sebelum ke Masjid.”
            Abdiel terlihat berpikir. Matanya berusaha membaca menu yang tertulis jauh di warung. Tak lama dia menyerah. Tulisan itu terlalu kecil sehingga tampak seperti coretan tanpa makna.
            “Ada soto ayam, mie instant rebus atau goreng, nasi goreng, nasi rames ...” Abi membacakan menu tersebut satu per satu. “Lalu ada es kelapa muda, teh panas atau dingin, jeruk panas atau dingin, coffeemix, soda gembira, cappuccino...” Seringaian kecil terlihat di wajahnya selesai membaca.
            Abdiel meringis, tahu Abi mengejek penglihatannya yang memang kurang bagus. “Apa itu akan mengurangi nilaiku sebagai calon suami yang potensial?”
            Abi menggedikkan bahu. “Jadi sebenarnya kamu menggunakan kacamata?”
            “Seharusnya,” jawab Abdiel, sedangkan tangan lelaki ini menarik tangan Atila yang sudah masuk ke dalam buah kelapa muda  dan mengacak air kelapa hingga bajunya basah. “Tapi hanya kugunakan saat membaca buku atau duduk di depan layar komputer dan televisi.”
            “Sejujurnya lelaki berkacamata itu menarik,” ujar Abi saat Abdiel hendak mengambil handuk kecil di dalam tas khusus milik Atila.
            Tangan lelaki itu berhenti. Menoleh pada Abi dan berkata dengan nada bercanda, “Aku akan menggunakannya setiap bertemu denganmu.”
            Abi mendengus geli mendengar candaan Abdiel. “Jadi mau pesan apa?”
            “Soto ayam dan es cappuccino,” jawab Abdiel, disela kesibukan mengeringkan tangan dan baju Atila yang basah karena air kelapa muda.
            Terdengar kata “oke” sebelum Abi berbalik menuju warung. Setelah terlihat bercakap-cakap sebentar dengan Ibu pemilik warung, dia pergi menuju masjid untuk salat dzuhur.
***

            Abi tidak menemukan Abdiel dan Atila di gazebo ketika kembali dari Masjid. Mata Abi menyapu sekeliling, mencari jejak mereka. Tidak ada di tepi pantai. Sekarang hampir jam satu siang. Matahari masih bersinar terik, jadi wajar kalau mereka tidak di sana. Namun di warung juga tidak ada.
            Makanan Abdiel masih tersisa setengah. Minumannya juga masih utuh. Abi mencoba mengamati sekeliling dengan teliti sekali lagi.
            Sosok itu tertangkap sedang berdiri di depan toilet. Bersandar pada bagian dinding toilet yang bersih dengan tangan menyilang di depan dada. Pose yang terlalu keren untuk berada di sana.
            “Atila mendapat panggilan darurat,” jelas Abdiel ketika Abi mendekat dengan cengiran geli.
            “Darurat standar atau sangat darurat?” tanya Abi, sekarang sudah berdiri di samping Abdiel. “Oh … Sangat darurat,” ujarnya saat mencium bau yang kurang menyenangkan dari dalam toilet tempat Atila berada dengan pintu yang setengah terbuka.
            “Dia takut kalau pintunya di tutup.” Abdiel memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku dan sebelahnya lagi mengusap kepala.
            Abi terpesona beberapa saat. Darahnya berdesir. Segera dia memalingkan muka ke arah lain. Pose itu berbahaya bagi matanya. Seperti melihat seorang model pria yang sedang melakukan pemotretan.
            “Aa’ kembali saja ke gazebo,” tawar Abi berbicara lagi, berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri. “Lanjutkan makannya ...” ucapannya menggantung. Teringat dengan apa yang Abdiel lakukan di sini, “... kalau masih bisa.”
            Abdiel menarik kedua alisnya ke atas. Kedua tangannya berada di dalam saku. Senyum miring terlihat di sana. “Tentu saja masih bisa. Aku sudah terbiasa menghadapi ini.” Matanya menatap Abi beberapa detik. “Apa kamu yakin mau menanganinya?”
            Mendengar nada ragu dalam pertanyaan Abdiel mengganggu ego Abi. Menaikkan dagu sedikit, dia berkata dengan sombong, “Aku juga sudah terbiasa dengan ini.”
            Mulut Abdiel membuat lingkaran karena menyebut “o” tanpa suara. Kemudian melihat ragu ke pintu toilet yang setengah terbuka sebelum berkata, “Oke ... Aku kembali ke gazebo.”
            Abi memberikan senyum setengah hati mengantar langkah Abdiel. Dia kesal mendapati keraguan di wajah lelaki itu. Jelas sekali Abdiel mengira dia memaksakan diri. Padahal dia memang sudah terbiasa. Anak kakaknya tidak ingin ditangani orang lain kalau dia ada.
            Sepuluh menit kemudian, Abi dan Atila menyusul Abdiel kembali ke gazebo. Makanan lelaki itu sudah tandas. Sekarang dia sedang menikmati pemandangan sambil sesekali menyeruput es cappucinno.
            “Apa Atila terbiasa kamu bawa pergi?” tanya Abi penasaran karena sudah lewat tengah hari bayi itu tidak rewel sama sekali.
            Abi membantu Atila naik ke gazebo sebelum dia sendiri ikut duduk. Atila langsung bergerak mendekati Abdiel dan duduk di pangkuan lelaki itu.
            “Lebih tepatnya sering kuculik dari orang tuanya,” jawab Abdiel. “Ummi dan aku hanya tinggal berdua. Kadang beliau kesepian di rumah, jadi Atila sering kupinjam untuk meramaikan suasana.”
            Tangan Abdiel mengusap kepala Atila. Atila sendiri bersandar nyaman pada lelaki itu. Sepoi angin yang bertiup di hari yang terik perlahan merayu bayi ini untuk terpejam.
            “Berapa usia beliau?” tanya Abi.
            Matanya melirik ke warung. Lehernya kering. Dia kehausan.
            “Lima puluh enam tahun,” jawab Abdiel sembari menggeser gelasnya ke depan Abi.
            Abi meluruskan punggung, kaget dengan tindakan Abdiel. Di otaknya mulai bergema kalimat yang berawal dengan “apa”. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus minum ini? Apa sopan kalau tidak kuminum? Apa tidak apa-apa jika kuminum?
            Butuh 30 detik bagi Abi untuk mengambil keputusan. Dia menggeser kembali gelas itu ke depan Abdiel. “Thanks, tapi aku pesan minuman yang lain saja.”
            Abi segera bergerak menuju warung. Ada rasa bersalah di sudut hatinya. Ada takut juga di sana. Bagaimana kalau Abdiel tersinggung dengan tindakannya? Tapi itu keputusan yang tepat. Dia masih harus terus waspada. Mereka belum terlalu kenal untuk berbagi minuman di gelas yang sama.
           Abdiel sendiri memandangi punggung Abi. Sedikit tersinggung, namun dia mengerti. Terlebih dia sadar kalau Abi wanita yang sangat berhati-hati. Lagipula itu hanya tindakan reflek saat melihat Abi tampak kehausan.
            Abi kembali dengan membawa segelasas es teh saat Abdiel sedang memperbaiki posisi Atila agar tidur lebih nyaman. Namun belum sempat dia menyerut es teh dengan nyaman, tiba-tiba Abdiel bertanya, “Mau bertemu Ibuku minggu depan?”
            Abi langsung membatu. Tangannya yang memegang gelas mengambang di udara. Mampus!
***
Bersambung....
           


           







           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar