“Tila, sudah ya ... Kita
istirahat ya!” rayu Abi pada Atila yang asik berlari kesana kemari di atas
pasir kecoklatan. Bukan karena dia letih, tapi pasir yang cukup tebal membuat
bayi itu beberapa kali terjatuh. Abi takut Atila terluka.
Atila yang mendengar itu
malah tertawa, menunjukkan susunan giginya yang belum sempurna. Rayuan Abi
dianggap sebagai ajakan untuk terus bermain.
“Eh!” seru Atila diikuti
tubuhnya yang limbung, lalu jatuh.
Abi berhenti bernapas
sesaat, kaget dan cemas. Bagaimana kalau ada batu di bawah tubuh Atila? Kalau
tidak, potongan ranting mungkin? Itu akan membuat Atila terluka. Tapi, sesaat
kemudian menghembuskan napas lega melihat Atila kembali tertawa. Bayi yang baru
berusia tiga tahun itu mengerjainya.
Tidak ingin dikerjai dua
kali Abi bergerak cepat ke arah Atila dan menggendongnya. “Sudah, ya ... Kita
berteduh dulu. Di sini panas. Nanti kamu demam.”
Atila yang belum terlalu
mengerti kalimat Abi merengek minta diturunkan. Dia masih ingin bermain. Namun
Abi bertahan untuk tidak luluh melihat wajah memelas itu. ini demi kebaikan
Atila juga.
Dia membawa Atila duduk
berteduh di bawah gazebo depan salah
satu warung yang sengaja disediakan pemiliknya setelah memesan sebuah kelapa
muda. Sengaja tidak meminta es. Dia tidak tahu apakah tubuh Atila bisa
menanggulangi dingin es setelah sebelumnya berpanas-panasan. Panas dalam, lalu
demam bisa saja terjadi.
Atila yang awalnya masih
merengek langsung sibuk di depan meja. Segera melupakan keinginan
berpanas-panasan. Sekarang asik memukul-mukul permukaan meja dengan kedua
telapak tangan layaknya menabuh gendang.
Abi membiarkan Atila,
namun tetap berjaga-jaga siapa tahu bayi itu bergerak tak terarah. Gazebo ini cukup tinggi bagi seorang
bayi.
“Anaknya aktif ya, Mba’!”
seru pemilik warung beramah-tamah sembari meletakkan sebuah kelapa muda ke atas
meja.
Mata Atila langsung
berpindah ke benda tersebut. Tangannya mulai terulur untuk menjangkau benda
itu.
“Iya, Bu,” jawab Abi
tersenyum, sekaligus menggeser kelapa muda tadi jauh dari jangkauan Atila.
Atila tidak menyerah.
Setengah badannya sudah naik ke atas meja.
“Usianya tiga tahun ya,
Mba’?” tebak Ibu itu, ikut duduk di
gazebo.
Abi mengangguk. “Tiga
tahun satu bulan.” Setidaknya itu yang Abdiel katakan waktu dia bertanya saat
dalam perjalanan ke pantai ini.
Tangannya meraih Atila
yang hendak memutar ke bagian lebih dekat dengan kelapa muda tadi. Diletakkan bayi
itu ke pangkuannya. Sebelah tangannya menahan tubuh Atila yang hendak berdiri
kembali, sedangkan sebelah lagi menyendok daging kelapa muda dan menyuapkan
benda itu ke mulut kecil bayi ini.
Dengan gigi seadanya,
Atila mengunyah daging kelapa muda itu sehingga menunjukkan mimik lucu. Ibu
pemilik warung tertawa melihatnya.
“Giginya belum banyak ya,
Mba’!” komentar Ibu itu di sela tawa.
“Iya nih, Bu. Baru enam di atas dan delapan di bawah,” respon Abi
membenarkan. “Giginya agak terlambat tumbuh.”
Ibu itu manggut-manggut.
Dia menyapa Atila dengan bahasa jawa, “Namanya siapa?”
Atila berhenti mengunyah.
Mengamati Ibu itu, lalu menjawab, “Tila.”
Abi sedikit terkejut
mendengar Atila menjawab. Padahal dia butuh waktu hampir setengah jam untuk
dekat dengan bayi ini. lalu butuh waktu dua jam untuk mendengarnya bicara. Dan
selama satu jam dia bermain dengan Atila, bayi ini tidak begitu mengerti
kalimatnya.
Kemudian Abi menggerutu
dalam hati mengutuku kebodohannya. Bisa jadi orang tua Atila merupakan orang
jawa asli. Jadi anak ini tidak begitu mengerti Bahasa Indonesia.
“Lagi!” seru Atila
menyentuh tangan Abi.
Abi tersadar. Langsung disendoknya
lagi daging buah kelapa muda, kemudian menyuapkan pada Atila.
“Wah, pintarnya!” Ibu
pemilik warung terlihat kagum. Terus saja dia mengamati Atila. Mungkin akan
duduk lama bersama mereka kalau tidak ada yang membeli.
Abi memegang buah kelapa muda
itu dengan kedua tangannya. Membiarkan Atila menyedot airnya saat Ibu itu pamit
meninggalkan mereka. Kali ini tanpa bisa dicegah Atila menguasai sendok dan
mulai mengaduk-aduk isinya, berusaha mengambil daging buah tersebut. Abi
pasrah, membiarkan Atila bertindak sesuka hati karena kedua tangannya menumpu
buah itu.
***
Dari kejauhan, Abdiel yang
baru selesai salat dzuhur tersenyum melihat kedekatan Abi dan Atila. Dia
sengaja membawa Atila agar Abi merasa nyaman jalan dengannya karena tahu gadis
itu memiliki kewaspadaan tinggi. Selain itu juga ingin tahu seberapa tinggi level
kemampuan Abi menangani seorang bayi.
Alasan terakhir itu yang
membawa mereka ke ini. Salah satu pantai yang ada di Wonosari, Yogyakarta.
Butuh waktu tempuh kurang lebih dua jam untuk sampai ke lokasi. Dengan begitu
mereka tidak bisa buru-buru mengembalikan Atila ke kedua orang tuanya jika
mulai cerewet.
Sejauh ini Abi bisa
menangani Atila dengan baik. Tindakannya menunjukkan bahwa sudah terbiasa
mengasuh bayi. Layak untuk dipertimbangkan lebih serius.
Abdiel tersenyum geli
mengingat awal pertemuan mereka 10 hari lalu. Tidak pernah terpikirkan sama
sekali hari itu dia akan mengucapkan ajakan menikah pada gadis yang baru
dikenal. Padahal dia berada di cafe hanya ingin minum kopi. Bersantai melupakan
suntuk sementara waktu.
Usia 35 menjadi usia yang berat
jika Ibu kita mulai gencar menanyakan pernikahan. Belum lagi rasa iri merasuk
melihat orang sekitar tampak bahagia berkumpul dengan anak dan istri. Empat
dari lima sahabatnya juga sudah berumah tangga. Hanya Andien dan dia yang masih
betah sendiri. Jadi tidak perlu repot memupuk, keinginan membangun rumah tangga
itu tumbuh subur bagai jamur di tanah basah.
Sempat terpikir untuk
berkompromi dengan Andien. Tidak ada salahnya mencoba mendiskusikan hal ini
pada sahabat yang juga masih belum menemukan kekasih hati. Mereka sudah saling
mengenal sejak lama. Mana tahu kecocokan mereka dalam bersahabat juga sama
cocoknya kalau menjadi suami-istri. Namun belum sempat niat itu terlaksana
takdir itu pun datang.
Ketika menyesap kopi
kesekian, dua gadis masuk ke dalam cafe dan duduk tepat di meja belakangnya.
Tanpa memikirkan sekeliling mereka berbicara masalah pribadi dengan lancar.
Dirinya yang tidak berniat tahu urusan orang lain secara tidak sengaja ikut
masuk mendengarkan pembicaraan.
Tidak disangka permasalahnya
dengan salah satu gadis itu sama. Tentang menjalin hubungan dalam sebuah
pernikahan.
Kalimat-kalimat yang mengalir lancar
keluar dari mulut gadis itu membuatnya tertarik. Rasa penasaran pun
mendesaknya. Maka, saat teman gadis itu pergi tanpa bisa mengendalikan diri dia
menengok kebelakang. Ternyata gadis itu sedang melamun. Wajah melamun itu
sangat menarik. Memaksanya bergerak pindah. Duduk di kursi kosong yang tadi di
pakai oleh teman gadis itu. dan akhirnya pembicaraan mengalir begitu saja.
Gadis itu, Abi, bukanlah wanita tercantik
yang pernah dia lihat. Cantik itu sangat relatif. Namun ada sesuatu dalam diri
Abi yang menariknya bagai magnet beda kutub. Membuatnya ingin mengenal Abi
lebih jauh lagi.
Ajakan menikah itu pun terucap. Bukan
sebuah gurauan, melainkan penawaran. Jika hari itu Abi menolak, masih ada
Andien yang bisa diajak bekerjasama. Dan beruntung sekali Abi tidak menolak
sungguh-sungguh, walau tidak menerima juga.
Lalu disinilah mereka. Berusaha saling
mengenal secara singkat dengan trik-trik tertentu yang mungkin tidak pernah
terikirkan oleh orang yang berpacaran. Mencari kecocokan di sela waktu yang
sedikit. Berharap tidak akan sia-sia sehingga mampu memberi keputusan yang
diinginkan, belajar mencintai dalam sebuah ikatan pernikahan.
***
Abdiel mendapat sebuah
senyuman saat melewati Abi. Reflek dia membalas senyuman itu.
“Tidak memesan yang lain?” tanyanya
ketika sudah duduk di gazebo.
“Belum,” sahut Abi sembari
meletakkan kembali buah kelapa muda ke atas meja.
Atila tidak melepaskan
tangannya dari sendok sehingga secara otomatis berdiri. Dengan sebelah tangan
bertumpu pada meja, dia kembali asik bermain dengan sendok dan air kelapa muda.
“Aa’ mau pesan makanan
atau minuman?” tanya Abi. “Biar sekalian kupesankan sebelum ke Masjid.”
Abdiel terlihat berpikir.
Matanya berusaha membaca menu yang tertulis jauh di warung. Tak lama dia
menyerah. Tulisan itu terlalu kecil sehingga tampak seperti coretan tanpa
makna.
“Ada soto ayam, mie
instant rebus atau goreng, nasi goreng, nasi rames ...” Abi membacakan menu
tersebut satu per satu. “Lalu ada es kelapa muda, teh panas atau dingin, jeruk
panas atau dingin, coffeemix, soda gembira, cappuccino...” Seringaian kecil
terlihat di wajahnya selesai membaca.
Abdiel meringis, tahu Abi
mengejek penglihatannya yang memang kurang bagus. “Apa itu akan mengurangi
nilaiku sebagai calon suami yang potensial?”
Abi menggedikkan bahu.
“Jadi sebenarnya kamu menggunakan kacamata?”
“Seharusnya,” jawab Abdiel,
sedangkan tangan lelaki ini menarik tangan Atila yang sudah masuk ke dalam buah
kelapa muda dan mengacak air kelapa
hingga bajunya basah. “Tapi hanya kugunakan saat membaca buku atau duduk di
depan layar komputer dan televisi.”
“Sejujurnya lelaki
berkacamata itu menarik,” ujar Abi saat Abdiel hendak mengambil handuk kecil di
dalam tas khusus milik Atila.
Tangan lelaki itu berhenti.
Menoleh pada Abi dan berkata dengan nada bercanda, “Aku akan menggunakannya
setiap bertemu denganmu.”
Abi mendengus geli
mendengar candaan Abdiel. “Jadi mau pesan apa?”
“Soto ayam dan es
cappuccino,” jawab Abdiel, disela kesibukan mengeringkan tangan dan baju Atila
yang basah karena air kelapa muda.
Terdengar kata “oke”
sebelum Abi berbalik menuju warung. Setelah terlihat bercakap-cakap sebentar dengan
Ibu pemilik warung, dia pergi menuju masjid untuk salat dzuhur.
***
Abi tidak menemukan Abdiel
dan Atila di gazebo ketika kembali dari Masjid. Mata Abi menyapu sekeliling,
mencari jejak mereka. Tidak ada di tepi pantai. Sekarang hampir jam satu siang.
Matahari masih bersinar terik, jadi wajar kalau mereka tidak di sana. Namun di
warung juga tidak ada.
Makanan Abdiel masih
tersisa setengah. Minumannya juga masih utuh. Abi mencoba mengamati sekeliling
dengan teliti sekali lagi.
Sosok
itu tertangkap sedang berdiri di depan toilet. Bersandar pada bagian dinding
toilet yang bersih dengan tangan menyilang di depan dada. Pose yang terlalu
keren untuk berada di sana.
“Atila
mendapat panggilan darurat,” jelas Abdiel ketika Abi mendekat dengan cengiran
geli.
“Darurat
standar atau sangat darurat?” tanya Abi, sekarang sudah berdiri di samping
Abdiel. “Oh … Sangat darurat,” ujarnya saat mencium bau yang kurang
menyenangkan dari dalam toilet tempat Atila berada dengan pintu yang setengah
terbuka.
“Dia
takut kalau pintunya di tutup.” Abdiel memasukkan sebelah tangannya ke dalam
saku dan sebelahnya lagi mengusap kepala.
Abi
terpesona beberapa saat. Darahnya berdesir. Segera dia memalingkan muka ke arah
lain. Pose itu berbahaya bagi matanya. Seperti melihat seorang model pria
yang sedang melakukan pemotretan.
“Aa’ kembali saja ke gazebo,” tawar Abi berbicara lagi,
berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri. “Lanjutkan makannya ...” ucapannya
menggantung. Teringat dengan apa yang Abdiel lakukan di sini, “... kalau masih
bisa.”
Abdiel menarik kedua
alisnya ke atas. Kedua tangannya berada di dalam saku. Senyum miring terlihat
di sana. “Tentu saja masih bisa. Aku sudah terbiasa menghadapi ini.” Matanya
menatap Abi beberapa detik. “Apa kamu yakin mau menanganinya?”
Mendengar nada ragu dalam
pertanyaan Abdiel mengganggu ego Abi. Menaikkan dagu sedikit, dia berkata
dengan sombong, “Aku juga sudah terbiasa dengan ini.”
Mulut Abdiel membuat
lingkaran karena menyebut “o” tanpa suara. Kemudian melihat ragu ke pintu
toilet yang setengah terbuka sebelum berkata, “Oke ... Aku kembali ke gazebo.”
Abi memberikan senyum
setengah hati mengantar langkah Abdiel. Dia kesal mendapati keraguan di wajah
lelaki itu. Jelas sekali Abdiel mengira dia memaksakan diri. Padahal dia memang
sudah terbiasa. Anak kakaknya tidak ingin ditangani orang lain kalau dia ada.
Sepuluh menit kemudian,
Abi dan Atila menyusul Abdiel kembali ke
gazebo. Makanan lelaki itu sudah tandas. Sekarang dia sedang menikmati
pemandangan sambil sesekali menyeruput es cappucinno.
“Apa Atila terbiasa kamu
bawa pergi?” tanya Abi penasaran karena sudah lewat tengah hari bayi itu tidak
rewel sama sekali.
Abi membantu Atila naik ke gazebo sebelum dia sendiri ikut duduk. Atila
langsung bergerak mendekati Abdiel dan duduk di pangkuan lelaki itu.
“Lebih tepatnya sering
kuculik dari orang tuanya,” jawab Abdiel. “Ummi dan aku hanya tinggal berdua.
Kadang beliau kesepian di rumah, jadi Atila sering kupinjam untuk meramaikan
suasana.”
Tangan Abdiel mengusap
kepala Atila. Atila sendiri bersandar nyaman pada lelaki itu. Sepoi angin yang
bertiup di hari yang terik perlahan merayu bayi ini untuk terpejam.
“Berapa usia beliau?”
tanya Abi.
Matanya melirik ke warung.
Lehernya kering. Dia kehausan.
“Lima puluh enam tahun,”
jawab Abdiel sembari menggeser gelasnya ke depan Abi.
Abi meluruskan punggung,
kaget dengan tindakan Abdiel. Di otaknya mulai bergema kalimat yang berawal
dengan “apa”. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus minum ini? Apa sopan
kalau tidak kuminum? Apa tidak apa-apa jika kuminum?
Butuh 30 detik bagi Abi
untuk mengambil keputusan. Dia menggeser kembali gelas itu ke depan Abdiel.
“Thanks, tapi aku pesan minuman yang lain saja.”
Abi segera bergerak menuju
warung. Ada rasa bersalah di sudut hatinya. Ada takut juga di sana. Bagaimana
kalau Abdiel tersinggung dengan tindakannya? Tapi itu keputusan yang tepat. Dia
masih harus terus waspada. Mereka belum terlalu kenal untuk berbagi minuman di
gelas yang sama.
Abdiel sendiri memandangi punggung
Abi. Sedikit tersinggung, namun dia mengerti. Terlebih dia sadar kalau Abi
wanita yang sangat berhati-hati. Lagipula itu hanya tindakan reflek saat
melihat Abi tampak kehausan.
Abi kembali dengan membawa
segelasas es teh saat Abdiel sedang memperbaiki posisi Atila agar tidur lebih
nyaman. Namun belum sempat dia menyerut es teh dengan nyaman, tiba-tiba Abdiel
bertanya, “Mau bertemu Ibuku minggu depan?”
Abi langsung membatu.
Tangannya yang memegang gelas mengambang di udara. Mampus!
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar