“Lagi?” tanya Naomi shock sembari
meletakkan canggkir teh yang dia pegang ke atas meja.
Saat ini mereka sedang duduk di sebuah cafe langganan. Dia tidak peduli
kalau pengunjung lain melirik mereka karena terganggu dengan volume suaranya
yang cukup kencang.
Gadis berkerudung yang ditanya hanya mengangguk, sedang mulutnya sibuk
mengunyah cheesecake favorit. Tidak
tampak kesedihan sama sekali. Bahkan terlihat wajah puas seorang pemenang
sebuah pertandingan.
“You always do, Abi!” Naomi
frustasi menghadapi sahabatnya yang satu ini. gadis yang terobsesi menikah
muda, tapi sangat pemilih.
Gadis yang dipanggil Abi ini menggedikkan bahu, acuh. Sekarang malah sibuk
menyedot habis lemon tea dari
gelasnya.
Naomi menghela napas gerah meskipun cafe ini memiliki pendingin ruangan, “Jadi
sebenarnya kamu mau menikah atau tidak?”
“Tentu saja mau!” jawab Abi cepat kali ini. Seakan pertanyaan Naomi akan
berubah menjadi kutukan anti pernikahan jika dia telat menjawab.
“Lalu mengapa setiap lelaki yang mendekati selalu kamu tendang jauh-jauh?”
geram Naomi. Dia mengambil sepotong pai apel teman minum teh kali ini, lalu
menggigitnya kesal.
Abi tampak berpikir sebentar sebelum menjawab, “Karena itu yang sepantasnya.”
Naomi melotot, mendengar jawaban acuh sahabatnya ini. Cepat-cepat ditelan
pai apel tadi, kemudian mulutnya sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu ketika
Abi lanjut berkata, “Baru chatting
sekali sudah berani menggunakan emot cium atau mengetik ‘kiss’. Belum apa-apa sudah bertanya hal-hal pribadi seperti orang
yang tidak tahu etika berkenalan. Semuanya menyebalkan!”
Kembali Naomi akan mengeluarkan pendapat setelah meneguk teh untuk
menghilangkan rasa kering di mulut saat Abi menyambung ucapan, “Tidak ada
satupun yang serius kejenjang pernikahan. Cara pendekatan mereka persis ABG
yang ingin berpacaran.”
Abi menyuap sesendok cheesecake lagi setelah mengucapkan itu.
Sedangkan Naomi memandangi sahabatnya ini, memastikan kalau Abi tidak akan
menyerobot kesempatannya bicara.
Merasa yakin, Naomi membuka mulut untuk berucap tatkala Abi berkata,
“Paling menyebalkan itu waktu salah satu dari mereka menanyakan usiaku. Setelah
kujawab, lelaki itu malah berkomentar usiaku terlalu muda untuk memikirkan
pernikahan. Terus, dia memberi saran bagaimana kalau berpacaran terlebih dahulu
untuk saling mengenal.
Ya Tuhan! Umur berapa dia? Pasti dia berpikir kalau perempuan itu sama
seperti laki-laki yang umumnya mulai berkeinginan berumah tangga ketika usia 27
ke atas. Jelas dia tidak tahu wanita kebanyakan sudah butuh pendamping ketika
memasuki usia 20.”
Ekspresi Abi menunjukkan kegemasannya pada lelaki yang entah siapa itu.
Sekali lihat saja Naomi tahu lelaki itu masuk dalam daftar hitam calon suami
gadis di depannya ini.
“Sudah?” Naomi memastikan.
“What?” Abi bingung seraya
menyeruput lemon tea kesukaannya.
“Masih ingin bicara?” perjelas Naomi.
Abi menggeleng, masih menyedot lemon tea.
“Dengar,” Abi memperbaiki duduknya mendengar nada perintah itu, “lelaki
sekarang ini mana berani mengajak kejenjang serius tanpa adanya pendekatan siknifikan.”
Abi tersenyum sinis, “Bukti bahwa lelaki sekarang bermental tahu, ‘kan?”
“Ck, bukan itu Abi!” Naomi kesal
Abi masih sempat membajak gilirannya bicara. “Mereka butuh waktu untuk menentukan
bahwa kamu yang terbaik sebelum mengajukan ajakan berumah tangga.”
“Dengan pacaran?” sinis Abi bertanya.
Naomi mengangguk meski tahu jawabannya bisa membuat Abi dongkol, “Sejauh
ini cara itu yang selalu digunakan.”
Benar saja, Abi mendengus. Gadis ini menyuap cheesecake-nya lagi dengan geram.
Dia bukan berlagak suci. Tidak juga berlaku sok menjaga diri. Dia gadis
biasa dengan pengetahuan agama yang seadanya. Hanya saja, sampai saat ini dia
belum menemukan alasan positif menjalin sebuah hubungan di luar pernikahan.
Terlalu banyak hal kurang menyenangkan yang dia temukan disekitar akibat
pacaran. Salah satu teman SMP-nya meninggal bunuh diri karena dikhianati. Salah
satu teman SMA-nya tidak serius sekolah hingga gagal Ujian Nasional akibat baru
berpacaran. Seorang teman kuliah hamil di luar nikah juga disebabkan berpacaran.
Kemudian Naomi, hampir setiap hari pusing—kadang sampai menangis—sebab
bertengkar dengan pacarnya.
“Lagipula...” Naomi diam sejenak, terlihat ragu, “kedekatanmu dan Vita
menjadi gossip belakangan ini.”
Pupil Abi melebar. “Hah!” seruan kaget itu lolos dari mulunya. “Maksudmu
beredar gossip kalau kami...,”
Naomi mengangguk.
“Ya Tuhan!” Abi geleng-geleng kepala. “Kita bertiga bersahabat sudah lama
Nao. Kita juga megontrak rumah bersama sejak kuliah di kota ini. Bagaimana
mungkin bisa ada gossip seperti itu?
Selain itu, kita selalu betiga kemana-mana. Mengapa harus aku dan Vita yang
tertimpa gossip?”
Naomi menggedikkan bahu, “Mungkin karena bertahun-tahun kita mengontrak
rumah di lingkungan itu hanya kalian berdua yang tidak pernah terlihat
dikunjungi lelaki.”
Abi menyeruput lemon tea-nya
cepat sebelum bicara, “Apa sudah banyak yang tahu kalau ...”
“Sepertinya masih praduga. Hanya kita berdua dan ... pasangan Vita yang
tahu kalau dia ... penyuka sesama,” Naomi sedikit berbisik di frasa terakhir.
“Karena itu, untuk menepis gossip dan
melindungi Vita dari pandangan buruk kamu harus segera menikah. Minimal
memiliki pacar, Bi.”
Abi mengurut kening, gusar. Menggerutu atas perubahan orientasi Vita yang
kini berimbas padanya. “Mengapa Vita harus belok, sih?”
“Karena dia belum tersentuh makeup
dan perawatan,” jawab Naomi asal sebelum menyesap blossom tea yang tadi sempat terlupakan.
Wajah itu mengernyit mendapati minumannya mendingin. Berdecak pelan dia
menambahkan blossom tea hangat dari
dalam teapot.
Abi memutar bola mata, “Teori apa itu?”
Naomi menyeringai disela meresapi hangat teh dari balik cangkir yang dia
genggam, “Aku masih punya satu kandidat. Kamu mau?”
“Berapa usianya?”
Naomi mengernyit, “Dia tidak setampan yang sebelumnya, tapi sudah sangat mapan.”
“Berapa usianya?”
“Tuhan! Ada apa dengan usia?” Naomi jengkel mendapati Abi lebih tertarik
mengetahui usia daripada deskripsi fisik kandidat terakhir pilihannya.
“Berapa usianya, Nao?” Abi ikut jengkel pertanyaannya belum dijawab.
“Tiga puluh satu tahun,” jawab Naomi akhirnya.
Mata Abi berbinar, “Pertemukan kami berdua!”
Naomi memutar bola mata, “Aku rasa kamu harus lebih menghargai usiamu
sendiri Abi. Dua puluh tiga tahun, tapi bertingkah seperti tante-tante yang
butuh pasangan sesuai. Ada apa dengan om-om di dunia?”
Abi mencibir, “Kamu hanya belum tahu kharismatik lelaki yang usianya jauh
di atas kita.”
“Aku rasa kamu butuh seorang psikiater Abi. Ini sudah tidak wajar. Sejak
SMP kamu terobsesi dengan om-om. Ingat waktu kamu tertarik dengan pamanmu sendiri?”
ucap Naomi dengan tatapan prihatin. “Kamu juga pernah tertarik pada guru Kimia
kita di SMA yang masih sendiri di usia 35. Kamu bahkan malas makan selama
seminggu ketika si tua itu menikah.”
Abi berpura-pura sibuk dengan cheesecake
yang tersisa. Pikirannya kacau diingatkan tentang kenangan—sedikit—pahit masa
SMA.
Sejak dulu dia tidak tertarik dengan permainan berpacaran yang biasa
dilakukan anak muda seusianya. Saat melihat Pak Dian, guru Kimia mereka itu,
dia langsung tertarik. Bukan hanya karena Pak Dian masih terlihat segar di usia
35, tapi juga karena kecerdasan dan wibawa yang ditunjukkan dalam kegiatan
belajar mengajar.
Dia sudah berencana akan mengajak Pak Dian menikah setelah lulus SMA.
Sayang sekali, gurunya itu lebih dulu menikah sebelum dia lulus. Hal ini sempat
membuatnya terpukul.
“Well, kapan kamu ingin bertemu?”
tanya Naomi mengalihkan fokus, merasa bersalah membuat Abi mengingat masa lalu.
“Aku siap kapanpun,” Abi kembali bersemangat. “Asal jangan malam hari.”
“Oke! Aku harap kali ini...” suara dering panggilan menginterupsi kalimat
Naomi.
Naomi meraih handphone di dalam
tasnya kasar, merasa terganggu. Namun, wajahnya melembut melihat nama yang tertera
di layar. “Iya, Yang?”
Pertanyaan pertama itu diikuti anggukan-anggukan pelan sampai pembicaraan
hampir berakhir, “Iya, aku sedang menuju ke sana sekarang. Miss you!”
Abi memutar bola mata melihat Naomi segera berkemas, “Panggilan darurat
lagi?”
Naomi memasang wajah menyesal dibuat-buat, “Maafkan aku.”
“Ya, ya, ya, pergilah! Aku tidak akan tega melihatmu menangis karena
dibentak akibat terlambat datang. Hati-hati di jalan!”
“Kamu memang sahabat terbaikku!” seru Naomi sumringah, kemudian bergerak cipika-cipiki
sebelum benar-benar pergi meninggalkan Abi.
“Kamu tahu Nao?” ucap Abi tatkala Naomi berbalik membelakanginya membuat
gadis itu berhenti dan menoleh. “Aku rasa, kamu yang lebih memerlukan kandidat
baru.”
Naomi mengibaskan tangannya tanda “tidak perlu”, menganggap ucapan Abi
hanya sebuah candaan belaka. Kemudian kembali melangkah pergi.
***
Sepeninggal Naomi, Abi tetap bertahan di cafe. Dia memesan sepotong cheesecake lagi, memuaskan diri sebelum
pulang. Dia butuh sedikit penyegaran.
Sebuah senyum manis terukir kala pelayan datang membawakan pesanannya. Membuat
pelayan itu sedikit tersipu sebelum membalas senyumnya bijak, kemudian pergi.
Sayangnya, dia melupakan kenikmatan
cheesecake saat matanya menjelajah keluar dinding kaca. Terlihat lalu-lalang
pengendara bermotor. Terkadang tampak para pejalan kaki di trotoar atau yang
ingin menyebrang, membawanya terhanyut dalam lamunan tentang Naomi, Vita, dan
dirinya sendiri.
Bersahabat hampir 11 tahun dengan Naomi dan 8 tahun bersama Vita memberikan
kenangan yang banyak. Susah senang kehidupan remaja mereka hadapi bersama.
Naomi dan dia pernah tak bertegur sapa karena dirinya tidak menyukai Delon,
pacar Naomi ketika SMP. Lalu, pernah juga membiarkan t-shirt favorit-nya kotor akibat ingus Naomi yang menangis sesegukan
karena Sofian—pacar Naomi saat SMA—menderita kanker otak dan meninggal.
Sekarang, t-shirt-nya masih sering
menjadi tissue dadakan. Namun, dia
tidak pernah mengeluh.
Hal yang paling membekas ketika Naomi dan dia mendengar pengakuan Vita
tentang penyimpangan orientasinya di tahun ketiga mereka kuliah. Awalnya,
mereka takut berdekatan dengan gadis itu. Namun pada akhirnya mereka sadar—meski
membutuhkan waktu berbulan-bulan—seperti apapun Vita adalah bagian dari hidup mereka.
Sahabat mereka sejak SMA.
Abi begitu terhanyut dengan nostalgia dalam kepala sehingga tidak menyadari
seseorang duduk di depannya. Mungkin dia tidak akan peduli kalau tidak merasa
diawasi.
Dahinya berkerut tatkala matanya menangkap sesosok asing memandanginya,
“Siapa kamu?”
Orang yang ditanya tersenyum ramah. Menunjukkan gigi putih terawat di balik
bibir pucat perokok. Membuat kerutan di dahi Abi bertambah memikirkan kombinasi
aneh gigi terawat dan perokok—mengabaikan sebutir gigi geraham depan sebelah
kanan yang hilang dari tempatnya.
“Abdiel,” suara maskulin menelusup ke dalam telinga Abi ketika orang itu
berbicara. Membuat hati gadis itu bergetar. Terlebih suara itu jenis
favoritnya, berat dan berwibawa.
“Abdil?” ulang Abi berusaha tak kehilangan kewarasan.
“Abdiel. Namaku Abdiel,” jelas orang itu.
“Oke Abdiel!” Abi berdehem sebentar. “Ada perlu apa?” tanyanya, lalu
mengernyit menyadari kalimat itu seperti kalimat hafalan seorang informer di
balik meja informasi.
“Ayo menikah!” ajak Abdiel sukses membuat dada Abi berdesir, mata melotot,
dan napasnya tertahan.
“Apa kamu peserta reality show?”
tanya Abi setelah kembali menguasai diri. Matanya melirik kanan dan kiri, lalu
depan dan belakang, kemudian atas dan bawah mencari kamera tersembunyi.
Abdiel tersenyum melihat tingkahnya, membuat dagu yang ditumbuhi bulu kasar
sampai dekat telinga itu terlihat manis menggoda. Bibir bawah yang lebih tebal
dari bibir bagian atas seperti memanggil untuk disentuh. Abi langsung
menggelengkan kepala agar terbebas dari ikatan pikiran liarnya.
“Usiaku 35 tahun dan sedang butuh istri,” ujarnya mengacuhkan pertanyaan
Abi.
Mata Abi mengerjap berulang kali. Hilang sudah ketenangan yang sejak tadi
dipertahankan. Ini gila!
“Maaf, tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian dari sana,”
Abdiel menunjuk satu meja tepat di belakang Abi.
Abi mengikuti arah telunjuk Abdiel, lalu merutuk setelahnya. Ini bodoh!
“Bukankah aku cukup layak untuk dipertimbangkan?”
Ya, tentu saja! Setelah beberapa hal yang merusak konsentrasi Abi tadi
ditambah hidung mencuat proposional sebagai pelengkap—kembali mengabaikan sebutir
gigi geraham depan sebelah kanan yang hilang dari tempatnya—secara fisik Abdiel
sangat layak. Tapi ini aneh untuk dianggap serius.
“Pikirkan saja lebih dulu,” lanjut Abdiel melihat Abi yang tak kunjung
merespon. “Jika kamu setuju, kita bisa bertemu beberapa kali agar saling
mengenal sebelum lamaran. Kamu bisa menghubungiku di sini,” Abdiel memberikan kartu
namanya. “Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa lagi!”
Sekali lagi Abdiel memberikan senyuman manis sebelum pergi meninggalkan Abi
yang masih terbengong-bengong.
***
Sepeninggal Abdiel, Abi
masih linglung beberapa saat sebelum kedua tangannya menepuk pipi; memastikan
bahwa kejadian tadi bukan mimpi atau hayalan semata. Tapi kartu nama yang
tergeletak di atas meja terlihat sangat nyata.
Takut-takut abi meraih benda itu. Dia bisa
memegangnya! Berarti memang bukan mimpi.
Dia tidak ingin mempercayai peristiwa tadi.
Bagaimana mungkin seorang lelaki tak dikenal dengan gampangnya mengajak
menikah? Apa lelaki itu pikir menikah seperti bermain rumah-rumahan. Mungkin
lelaki itu penggemar sebuah reality show
pernikahan simulasi. Atau terlalu banyak bermain pacar simulasi yang ada di
PS2.
Bisa jadi lelaki itu memiliki penyakit berat
seperti kanker dan semacamnya sehingga divonis hanya memiliki waktu beberapa
bulan untuk hidup. Jadi dia ingin menikmati pernikahan sebelum meninggal. Siapa
tahu dia akan gentayangan kalau meninggal dalam keadaan bujang.
Bisa juga orang tua lelaki itu yang sekarat
sehingga ingin melihat anaknya menikah sebelum meninggal. Jadi mencomot siapa
saja yang ingin menikah untuk mewujudkan harapan terakhir itu.
Atau ... Abi menggeleng-gelengkan kepala
menghentikan otaknya yang sedang menerka-nerka. Semakin memikirkan itu, praduga
Abi semakin berkembang tanpa batas.
Dia memanggil pelayan untuk membungkus cheescake yang belum sempat di makan.
Bertahan di sana hanya membuat kepalanya pusing. Lebih baik dia pulang dan
beristirahat dan memikirkan ini dengan kepala dingin, juga akal sehat.
Gadis ini segera beranjak dari duduk ketika
pelayan megantarkan bungkusan cheesecake
tadi. Masih berusaha meghalau otaknya yang tetap berpraduga dia pun melangkah
pulang.
***
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar