Abi duduk di sofa ruang tengah kontrakan sambil memandangi kartu nama Abdiel.
Pulang dari cafe hanya salat Ashar sebentar lalu melakukan hal itu sampai saat
ini. Bahkan masih memakai t-shirt
putih, kemeja hijau besar, dan hijab berwarna hijau kotor yang sejak pagi
dipakainya.
Matanya tak lepas dari benda persegipanjang itu sampai terdengar makian
seseorang yang semakin lama semakin dekat. “Sialan!” ulang suara itu lagi
bersamaan dengan munculnya sosok Vita yang terlihat kusut. T-shirt hitam kebesaran yang berantakan, rambut pendek mencuat, dan
jeans belel penuh oli semakin
menambah kusut penampilan gadis ini. “Dimana-mana yang namanya lelaki itu
selalu bikin sial!”
Abi yang merasa terganggu melemparkan delikan terbaik. Namun Vita takpeduli
sama sekali. Dia malah menghempaskan tubuhnya ke sofa samping Abi.
Taklama Vita memberikan tatapan meneliti pada Abi yang kembali sibuk
menatap kartu nama ditangannya. Dia penasaran kartu nama siapa yang mampu membuat
manusia cerewet seperti Abi menjadi bungkam.
“Apa itu?” tanya Vita seraya merampas kartu itu dari tangan Abi.
Abi melotot, “Vita, kembalikan!”
Tangannya
berusaha merebut kembali barang itu dari tangan Vita. Tapi, tangkas Vita
berusaha menghindar sambil berusaha membaca tulisan di sana.
“Abdiel,” bacanya
keras, disusul tatapan mencemooh. “Lelaki.”
Kesempatan itu
digunakan Abi mendapatkan kembali kartu nama Abdiel. Langsung dimasukkan ke
dalam saku ketika kartu itu ditangannya.
“Kamu masih
mengikuti ide konyol Naomi?” tanya Vita takpercaya.
Delikan sadis kembali
diberikan Abi. Sejak awal Vita memang tidak setuju dengan ide Naomi yang
berniat memperkenalkannya dengan beberapa lelaki. “Cerewet!”
Vita tergelak
mengejek, “Berapa usiamu, Abi?”
“Ini bukan
masalah usia!” sentak Abi gemas. “Ini tentang ketenangan jiwa,” lanjutnya. “Lagipula
itu bukan kartu nama dari teman Naomi.”
“Cih! Gayanya
ketenangan jiwa,” cela Vita. “Dimana-mana lelaki itu pembawa sial.”
“Memangnya tahu
apa kamu tentang lelaki?” tanya Abi sarkastis.
Wajah Vita
menegang, membuat Abi menyadari kekasaran kalimatnya. “Maaf Vita, aku ...,”
“See! Lelaki itu pembawa sial. Hanya
karena lelaki kamu bisa mengucapkan hal seperti itu padaku,” potong Vita. “Tadi
seorang lelaki merepotkanku. Hampir membuatku dipecat. Sekarang lelaki membuat
sahabatku berkata kasar.”
Vita
menghentakkan kaki, melangkah menuju kamarnya. Di dalam otaknya kalimat “lelaki
itu pembawa sial” bergema.
“Vita maafkan
aku!” kejar Abi. “Aku tidak bermaksud mengatakan itu.”
Vita
menghembuskan nafas keras sekaligus mengeluarkan sebatang rokok dari
bungkusnya. Kamar yang lebih berantakan dari kamar seorang lelaki tidak
membuatnya terganggu. Dia menuju jendela, menghisap rokok itu dalam setelah
dinyalakan. Mengharap sedikit ketenangan.
“Vit!” panggil
Abi hati-hati dari depan pintu kamar yang terbuka.
Dia tidak
bermaksud membuat Vita tersinggung. Kalimat tadi keluar spontan dari mulutnya.
“Sudahlah!” Vita
mengusap wajahnya. “Aku juga minta maaf. Emosiku sedang tidak stabil.”
Abi diam,
memperhatikan kondisi Vita. “Jadi, kamu hampir dipecat?”
Kepulan asap
keluar sebelum Vita mengangguk, “Aku terlambat kerja karena menolong seorang
lelaki yang kecelakaan.”
“Itu bukan alasan
untuk dipecat, ‘kan?” alis Abi hampir bertaut heran. Dia berjalan ke dalam
kamar, lalu duduk di kursi dekat jendela. “Apalagi kamu salah satu montir
andalan Dealer tersebut.”
Vita mengangguk,
“Seharusnya. Kalau pacaramu bukan boss
disitu yang cemburu karena kamu menolong seorang lelaki, lalu menungguinya
sebentar sehingga terlambat kerja.”
Tanpa sadar mulut
Abi terbuka, “Pacar? Kamu ... dan boss-mu?”
Vita menyeringai,
“Iya.”
“Kamu sudah
kembali normal?” pertanyaan itu yang terlintas di otak Abi.
“Mana mungkin!”
sanggah Vita cepat. “Lelaki itu pembawa sial. Aku tidak berminat berdekatan
dengan mereka, apalagi pacaran.”
“Terus boss-mu?”
“Tentu saja
perempuan.”
“Bagaimana bisa?”
Abi terbengong takjub.
Mengetahui
cita-cita Vita sebagai montir—kemudian gadis itu benar-benar menjadi
montir—saja sudah membuat Abi takjub. Sekarang mendengar seorang wanita menjadi
boss cabang salah satu dealer sepeda
motor terkenal di Indonesia. Dunia saat ini sudah menjadi lahan pertempuran
lelaki dan perempuan.
“Tentu saja bisa.
Kalau tidak, bagaimana kami bisa pacaran?” Vita melengos, dan bergerak keluar
kamar setelah menekan ujung rokok ke dalam asbak hingga padam.
Abi jadi
penasaran, “Mana fotonya? Sini! Aku mau lihat.”
Dia mengikuti
Vita yang menuju dapur. Ingin membuktikan kalau wanita itu sama gagahnya
seperti Vita.
“Iuhh!” Abi
bergidik ngeri melihat Vita menuang sereal ke dalam mangkuk berisi susu.
“Mengapa harus sereal, sih? Sereal
itu sarapan, bukan untuk makan malam.”
“Aku lapar,”
jawab Vita sekenanya.
“Di dalam kulkas
masih ada cheesecake. Daging sapi dan
beberapa sayuran juga. Nasi pun masih di ricecooker.”
“Ribet,” respon
Vita malas, mulai menyuap serealnya.
Abi geleng-geleng
kepala. Entah bagaimana mulanya, Vita dan sereal seperti pasangan yang sulit
dipisahkan. Dimana ada Vita disitu ada sekotak sereal dan susu cair. Bukankah
ada makanan yang lebih enak dari sereal yang bisa dijadikan sebagai favorit?
“Mana foto boss-mu itu? Tunjukkan padaku!” ujar Abi
sembari duduk di kursi makan depan Vita.
“Bukannya tidak
adil disaat kamu melarang sekedar membaca kartu nama, tapi malah memaksa untuk
melihat foto pacarku?”
“Ayolah Vita!”
rayu Abi. “Lagipula kamu sudah sempat membacanya.”
Vita memutar bola
mata, namun kemudian tangannya bergerak mengeluarkan smartphone dari saku. Mengutak-atiknya sebentar sebelum memberikan
pada Abi.
Abi menyambar smartphone itu cepat. Melihat ke layar
yang di dalamnya terlihat foto seorang perempuan cantik. Pupilnya melebar
takpercaya, “Kamu yakin kalau wanita ini penyuka sesama?”
“Tentu saja!
Kalau tidak bagaimana mungkin kami pacaran,” jawab Vita sebal dengan pertanyaan
Abi.
“Tapi dia begitu
‘wanita’. Tersentuh makeup dan
perawatan,” Abi masih kurang yakin.
Vita berhenti
menyuap sereal, “Ada masalah dengan makeup
dan perawatan?”
“Naomi mengatakan
kamu seperti sekarang ini,” mata Abi menatap Vita—yang kembali menyuap
sereal—penuh arti ketika mengatakan itu, “karena tidak pernah tersentuh makeup dan perawatan.”
Vita berhenti
mengunyah, menelan dengan cepat sebelum tertawa keras. “Dan kamu percaya?”
tanyanya, kemudian kembali tertawa membuat Abi cemberut. “Aku tidak pernah
berpikir kalau kamu sebodoh ini.”
“Tidak lucu!”
seru Abi gemas.
Vita berusaha
menahan tawa melihat wajah Abi yang tertekuk, “Setiap orang punya alasan sendiri
atas jalan yang dipilih Abi. Mungkin, aku bisa dikategorikan sebagai yang tidak
pernah tersentuh makeup dan
perawatan. Tapi alasan menjadi ‘berbeda’ itu sangat banyak.”
Wajah Abi normal
kembali. Malah terlihat berbinar. Vita menyadari akan menjadi panjang jika
membiarkan Abi bertanya lebih lanjut. Ekspresi itu akan terlihat saat Abi ingin
tahu detil tentang bahasan yang membuatnya tertarik.
“Jadi, mau cerita
siapa itu Abdiel?” tanya Vita mengalihkan topik pembicaraan.
Wajah Abi memerah
tiba-tiba. Dia menjadi gugup. Ah, dia malu untuk bercerita adegan aneh di cafe
tadi siang.
“Hei, sepertinya
dia orang yang spesial!” goda Vita.
“Bukan!” Abi
menyanggah cepat. “Dia ... dia ....”
“Ayolah! Mengapa
jadi gugup begitu?” Vita kembali menggoda.
Abi terdiam
sesaat sebelum bertanya, “Apa menurutmu wajar seorang lelaki mengajak menikah
seorang wanita yang belum dikenal sama sekali?”
“Wow!” Vita
takjub, selanjutnya bersiul. “Pasti lelaki itu sakit jiwa.”
“Vita, aku
serius!” Abi tidak senang mendengar jawaban Vita. Entah mengapa dia ingin
mendengar sebuah dukungan.
“Aku juga,” ucap
Vita. “Kamu pikir lelaki normal mana yang melamar wanita yang tidak dikenal
sama sekali?”
Abi terdiam
beberapa saat. “Memangnya lelaki normal akan melakukan apa?”
“Melakukan yang
kulakukan,” jawab Vita mantap. “Jatuh cinta, melakukan pendekatan, lalu
pacaran. Beberapa waktu pacaran, merasa yakin, baru melamar.”
Abi mendengus.
“Itu bukan lelaki, tetapi banci!” sinisnya. “Kalau tidak, itu remaja putra yang
belum berani mengemban tanggung jawab.”
“Well, aku memang bukan lelaki,” balas
Vita tidak tersinggung seperti tadi. Santai dia menyuap sesendok sereal lagi
sebelum mengunyah sebentar dan menelan. “Tapi pastinya, dimana-mana sebuah
hubungan itu perlu proses, Bi. Kamu tidak ingin salah pilih pasangan, ‘kan?”
Abi bersungut.
“Apa tidak ada cara lain selain itu? Seleksi pasangan tidka harus pacaran,
‘kan?”
Vita menggedikkan
bahu. “Trend di masyarakat kita ya pacaran.”
Abi mencibir. Dia
benci dengan kebiasaan itu.
“Jadi, apa yang
akan kamu lakukan?” tanya Vita sedikit penasaran. “Menerima lamarannya?”
“Dia tidak
melamar,” sanggah Abi. “Ah ...” dia terlihat berpikir, “mungkin itu bisa
disebut lamaran. Tahu ah, bingung!”
“Terima saja,”
saran Vita enteng.
“Ish, tidak mau! Aku belum kenal dia.
Tidak tahu bibit, bebet, bobotnya,” tolak Abi mentah-mentah. “Dia memang keren dengan
mengabaikan sebutir gigi geraham depan yang tidak berada ditempatnya. Tapi itu
tidak cukup. Mana tahu dia penderita AIDS yang sedang mencari mangsa. Atau
mungkin playboy cap ayam kuntet yang
sok kecakepan.”
“Sebutir gigi geraham
depan yang tidak berada ditempatnya?” tanya Vita mengabaikan kalimat Abi yang
lain sembarimeraih gelas berisi air putih disamping mangkuk sereal. “Maksudmu
gingsul?”
“Bukan!” Abi
menggeleng bersamaan dengan Vita yang meneguk air. “Hilang Vit, bolong, ompong.
Gigi geraham depan kanan samping taring Abdiel itu tidak ada ditempatnya alias
rongak.”
Hampir saja Vita
menyemburkan air putih yang baru saja masuk dalam mulutnya. Tawanya meledak
setelah meloloskan air putih masuk ke perut melalui tenggorokan.
“Serius?”
tanyanya meyakinkan.
Abi mengangguk.
Vita pun kembali tertawa membayangkan sosok Abdiel—yang entah seperti apa—tanpa
gigi geraham depan.
“Pasti usia si
Abdiel ini 80 tahun, ya? Kakek-kakek,” ejek Vita sebelum kembali tertawa.
“Sembarangan!”
protes Abi taksenang Vita menjelek-jelekkan Abdiel. “Usianya baru 35 tahun.
Masih segar-bugar. Masih gagah. Masih fresh,
menarik,” Abi berhenti sebentar. “Well,
abaikan rongaknya itu.”
Spontan Vita
lagi-lagi tergelak, “Sepertinya sudah ada yang naksir di sini.”
“Siapa?!”
“Kamu.”
“Ish, tidak!”
“Baiklah,
baiklah!” Vita berlagak mengalah sembari bangkit dari duduknya.
“Mau kemana?”
tanya Abi yang merasa percakapan mereka belum selesai.
“Mandi. Gerah.”
“Tapi kamu belum
cerita tentang pacarmu itu”
Abi berusaha
mencegah. Dia masih penasaran mendengar kisah Vita dan wanita cantik yang
merupakan boss-nya Vita itu.
“Lain kali, deh!
Aku capek, habis mandi mau tidur.”
Abi mendengus
kecewa. Tapi dia tidak memaksa lagi. Sepertinya, bukan sekarang waktunya untuk
tahu.
***
Malam sudah
larut. Abi masih sibuk membuat soal ujian di depan televisi ketika Naomi
pulang. Dua minggu lagi Ujian Akhir Semester di sekolah tempat dia mengajar
akan berlangsung. Sebagai seorang guru, sejak kemarin dia mulai disibukkan oleh
kegiatan membuat soal ujian. Terlebih, dia merupakan guru Matematika. Harus
teliti dalam membuat soal dan kunci jawaban.
Jam sudah
menunjukkan pukul 12.15 malam, namun tidak terlihat raut kelelahan di wajah Naomi.
Dia sumringah. Begitu gembira sampai-sampai menghampiri Abi hanya untuk
bercipika-cipiki.
“Abi, aku senang
sekali!” seru Naomi girang.
Kedua tangannya
masih melingkar di leher Abi. Pelipis mereka bahkan saling menempel.
“Apa, sih?” Abi
berusaha membebaskan diri dari pelukan Naomi. “Aku sedang sibuk Naomi.”
“Abi, aku
senang!” Naomi tidak mengacuhkan keluhan Abi. “Suni sweet sekali hari ini. tadi kita masak bersama, lalu makan malam
romantis di kontrakannya.”
“Cih, apanya yang
romantis hanya makan malam berdua di rumah? Kontrakan pula,” cela Abi.
Naomi langsung melepas
pelukannya, “Romantis Abi. Sebagai programmer,
Suni biasanya terlalu sibuk di depan komputer. Dan tadi dia menyempatkan diri
menemaniku memasak. Kyaaa ... Itu romantis!”
Abi mencibir. Tetapi
Naomi tidak peduli. Dia malah asik melanjutkan cerita.
“Pulang dari
kontrakan Suni, aku menemukan kedia teh baru. Kamu tahu, Bi?”
“Tidak,” sambar
Abi.
“Abi gitu deh!”
Naomi kesal Abi memotong kalimatnya. “Kedai teh itu kecil, Abi. Tapi varian teh
yang tersedia banyak. Ya Tuhan! Akhirnya aku menemukan juga kedai teh yang
menarik.”
Abi memutar bola
mata melihat ekspresi Naomi yang mulai berlebihan, “Memangnya Suni betah
berlama-lama di kedai teh?”
Naomi menggeleng,
“Aku ke sana sendiri.”
“Jadi kamu pulang
sendiri?!” Abi kaget. “Semalam ini?”
“Dih, Abi! Ini
belum jam 12 malam. Lagipula aku sudah besar, udah dewasa. Usia kita sama-sama
23 tahun.”
Abi menghela
nafas, “Mengapa tidak diantar Suni?”
“Dia sibuk Abi.
Tadi juga masih harus menyelesaikan pekerjaan,” bela Naomi. “Selain itu kami
pacaran sudah empat tahun, Bi. Sudah saling mengerti dan memahami.”
Reflek Abi
mengecimus, mual mendengar kalimat Naomi. “Sok memahami iya. Hubungan kalian
itu berjalan satu arah tahu. Nyatanya selalu kamu yang harus mengerti Suni.”
“Jangan mulai, Bi.
Aku tidak mau kita bertengkar dengan bahasan yang sama.”
Abi menarik napas
panjang, kemudian mengeluarkannya berat. “Aku tidak akan pernah bosan
mengatakan kalau kamu butuh kandidat baru Nao. Apa kamu tidak lelah?”
Naomi terdiam. Tidak
lama sebelum ekspresinya ceria kembali, “Aku sudah memberitahu kandidat
terakhir. Lusa kalian bisa bertemu pas makan siang. Di cafe yang tadi.”
Abi menghela
napas sadar kalau Naomi berusaha melarikan diri, “Baiklah. Terima kasih.”
“Oke,” Naomi
mencuil dagu Abi, “aku duluan. Mau mandi dan istirahat.”
Abi mengangguk
dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Naomi balas tersenyum, lalu beranjak
masuk kamar.
Abi memijat
dahinya pelan. Dia khawatir dengan masa depan Naomi bila masih bersama Suni.
Dia tidak ingin lagi melihat air mata Naomi jatuh karena lelaki itu. Dia juga
tidak mau melihat lebam yang kadang membekas di kulit Naomi karena dipukul.
Tapi apa yang bisa dia perbuat jika Naomi sendiri yang tidak mau bebas?
Gadis ini
menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Bukan saatnya memikirkan nasib orang
lain. Dia harus menyelesaikan pembuatan soal dan menyiapkan diri untuk lusa.
Ya, dia punya kehidupan sendiri yang harus lebih diperhatikan.
***
Abi melirik jam
tangannya. Hari minggu siang ini begitu panas. Dia sudah meminum dua gelas es lemon tea, tapi kandidat terakhir dari
Naomi itu belum terlihat. Padahal waktu telah berlalu 30 menit dari jam janji
temu.
Gadis ini menyuap
cheesecake-nya. Bersyukur ini hari
minggu, jadi dia punya banyak waktu untuk menunggu. Lagipula suasana cafe ini
nyaman, membuat betah untuk berlama-lama duduk diam menikmati pesanan.
“Sorry saya
telat,” sapa sebuah suara yang pemiliknya langsung duduk di depan Abi.
Abi mendongak dan
langsung mendapati wajah sederhana lelaki mapan. Tidak buruk. Cukup menarik dan
rapi. Wajahnya sedikit mengingatkan Abi dengan seseorang, tapi dia lupa siapa.
“Saya harus
menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditunda meski hari minggu sekalipun,”
lanjutnya sebelum melambai, memanggil pelayan.
Abi mesem. Dia
langsung tak berminat mendengar penjelasan itu. Lelaki sibuk, huh!
“Namamu Abi,
‘kan?” tanya lelaki itu setelah memesan. “Kamu menarik. Persis seperti
deskripsi Naomi.”
“Terima kasih,” ucap
Abi berusaha sopan.
“Saya dengar kamu
seorang guru, ‘kan?” tanyanya. Akan tetapi, belum sempat Abi menjawab lelaki
itu sudah berkata lagi, “Mengapa tidak menjadi sekretaris saja seperti Naomi? Pasti
seru kalau kamu jadi sekretaris pribadi saya.”
Abi mengernyit
taksenang. Dia sudah akan mengatakan sesuatu saat pesanana lelaki itu datang.
Mendadak Abi merasa lega. Sementara waktu ada yang menyumpal mulut lelaki itu
agar tidak berbicara lebih banyak. Abi takut dia tidak bisa menahan diri untuk
menendang orang di depannya ini ke luar cafe.
“Naomi bilang namamu
Arlon, ‘kan?” kali ini Abi berusaha mengambil alih pembicaraan.
Lelaki itu
mengangguk, sambil tetap mengunyah. Abi tersenyum samar memikirkan banyak waktu
untuknya memegang kendali.
“Usiamu 31 tahun,
‘kan? Usia yang menarik.”
Lelaki yang
bernama Arlon itu tersenyum bangga.
“Tapi mengapa
orang sepertimu belum menikah?” tanya Abi sengaja. “Itu sedikit aneh.”
Arlon mempercepat
kunyahannya sebelum menelan dan menjawab, “Terlalu banyak wanita matre di dunia.
Mereka mendekati saya hanya untuk uang dan berselingkuh di belakang.”
Abi kasihan
mendengarnya. Sayangnya, bukan rasa kasihan yang membuat tersentuh atas
kemalangan Arlon. Tapi kasihan karena lelaki itu tidak sadar kalau hampir
penyebab hancur hubungan itu pasti karena dirinya sendiri.
“Perhatian
seperti apa yang kamu berikan kepada mereka?” tanya Abi berusaha terdengar
simpati.
“Saya terlalu
sibuk, tapi saya berusaha memenuhi kebutuhan belanja mereka. Dan berusaha
meluangkan waktu sebanyak yang saya bisa,” jawab Arlon sebelum meneguk
minumannya.
See! Abi tahu lelaki ini terlalu sibuk dengan urusannya sendiri dan ingin
pasangannya selalu mengerti. Persis sama seperti Suni pacar Naomi. Maaf saja,
dia tidak ingin terjebak dalam masalah yang sama.
“Jadi, kamu sudah
lelah dengan itu semua. Karena itu memutuskan untuk serius dengan menerima
pertemuan kita ini,” tebak Abi.
Arlon tergelak, “
Saya selalu serius Abi. Mereka saja yang tidak menghargai keseriusan itu.”
Abi mencela dalam
hati. Serius, tapi hanya menjejali pacarnya dengan uang. Lalu setelah putus
dengan santai bilang kalau wanita sekitarnya terlalu matre.
“Jujur, aku
sedang mencari calon suami. Apa kamu bisa menikahiku dalam waktu dekat,
seandainya kita berdua cocok?”
Arlon tergelak
lagi, “Tidak secepat itu Abi. Kita baru bertemu sekali. Saya belum terlalu
mengenal dirimu. Mungkin kita bisa memulai dengan berpacaran beberapa waktu
untuk melihat kecocokan itu.”
“Kalau begitu ...”
Kalimat Abi
terpotong oleh dering telepon dari saku Arlon. Lelaki itu segera menjawab
panggilan. Setelah berbicara sebentar dia menatap Abi menyesal, “Maaf, saya
harus segera pergi. Masih banyak hal yang harus saya selesaikan hari ini.
senang berjumpa denganmu, Abi. Saya harap kita bisa mengatur waktu untuk
bertemu lagi.”
Abi hanya
tersenyum kecut menanggapi ucapan Arlon. Lain kali dengan lelaki seperti ini?
Terima kasih, dirinya tak berminat.
Arlon pun pergi.
Abi menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dia lelah.
Cheesecake terlihat tidak menarik lagi. Begitupun es lemon tea. Dia sibuk merutuki lelaki
yang seperti apapun sama saja. Hanya mengambil keuntungan dari perhatian wanita
tanpa ingin repot terkekang dalam suatu ikatan.
Bisa jadi dia
terdengar egois. Tapi tidak baginya. Dia hanya ingin mencari pendamping hidup
serius, yang tidak memanfaatkan situasi. Seorang lelaki yang berkomitmen dan
bertanggung jawab. Apa itu begitu sulit sekarang ini?
“Kecewa, hum?” tanya sebuah suara dari
belakangnya.
Seketika Abi
menoleh. Matanya melotot mendapati seseorang yang ingin dia geser dari otaknya
duduk manis di sana, tepat di kursi belakangnya.
“Kamu!?”
....
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar