Sabtu, 21 Juni 2014

CHEESECAKE, TEASET, AND CEREAL; CHEESECAKE 2



Abi duduk di sofa ruang tengah kontrakan sambil memandangi kartu nama Abdiel. Pulang dari cafe hanya salat Ashar sebentar lalu melakukan hal itu sampai saat ini. Bahkan masih memakai t-shirt putih, kemeja hijau besar, dan hijab berwarna hijau kotor yang sejak pagi dipakainya.
Matanya tak lepas dari benda persegipanjang itu sampai terdengar makian seseorang yang semakin lama semakin dekat. “Sialan!” ulang suara itu lagi bersamaan dengan munculnya sosok Vita yang terlihat kusut. T-shirt hitam kebesaran yang berantakan, rambut pendek mencuat, dan jeans belel penuh oli semakin menambah kusut penampilan gadis ini. “Dimana-mana yang namanya lelaki itu selalu bikin sial!”
Abi yang merasa terganggu melemparkan delikan terbaik. Namun Vita takpeduli sama sekali. Dia malah menghempaskan tubuhnya ke sofa samping Abi.
Taklama Vita memberikan tatapan meneliti pada Abi yang kembali sibuk menatap kartu nama ditangannya. Dia penasaran kartu nama siapa yang mampu membuat manusia cerewet seperti Abi menjadi bungkam.
“Apa itu?” tanya Vita seraya merampas kartu itu dari tangan Abi.
Abi melotot, “Vita, kembalikan!”
Tangannya berusaha merebut kembali barang itu dari tangan Vita. Tapi, tangkas Vita berusaha menghindar sambil berusaha membaca tulisan di sana.
“Abdiel,” bacanya keras, disusul tatapan mencemooh. “Lelaki.”
Kesempatan itu digunakan Abi mendapatkan kembali kartu nama Abdiel. Langsung dimasukkan ke dalam saku ketika kartu itu ditangannya.
“Kamu masih mengikuti ide konyol Naomi?” tanya Vita takpercaya.
Delikan sadis kembali diberikan Abi. Sejak awal Vita memang tidak setuju dengan ide Naomi yang berniat memperkenalkannya dengan beberapa lelaki. “Cerewet!”
Vita tergelak mengejek, “Berapa usiamu, Abi?”
“Ini bukan masalah usia!” sentak Abi gemas. “Ini tentang ketenangan jiwa,” lanjutnya. “Lagipula itu bukan kartu nama dari teman Naomi.”
“Cih! Gayanya ketenangan jiwa,” cela Vita. “Dimana-mana lelaki itu pembawa sial.”
“Memangnya tahu apa kamu tentang lelaki?” tanya Abi sarkastis.
Wajah Vita menegang, membuat Abi menyadari kekasaran kalimatnya. “Maaf Vita, aku ...,”
See! Lelaki itu pembawa sial. Hanya karena lelaki kamu bisa mengucapkan hal seperti itu padaku,” potong Vita. “Tadi seorang lelaki merepotkanku. Hampir membuatku dipecat. Sekarang lelaki membuat sahabatku berkata kasar.”
Vita menghentakkan kaki, melangkah menuju kamarnya. Di dalam otaknya kalimat “lelaki itu pembawa sial” bergema.
“Vita maafkan aku!” kejar Abi. “Aku tidak bermaksud mengatakan itu.”
Vita menghembuskan nafas keras sekaligus mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Kamar yang lebih berantakan dari kamar seorang lelaki tidak membuatnya terganggu. Dia menuju jendela, menghisap rokok itu dalam setelah dinyalakan. Mengharap sedikit ketenangan.
“Vit!” panggil Abi hati-hati dari depan pintu kamar yang terbuka.
Dia tidak bermaksud membuat Vita tersinggung. Kalimat tadi keluar spontan dari mulutnya.
“Sudahlah!” Vita mengusap wajahnya. “Aku juga minta maaf. Emosiku sedang tidak stabil.”
Abi diam, memperhatikan kondisi Vita. “Jadi, kamu hampir dipecat?”
Kepulan asap keluar sebelum Vita mengangguk, “Aku terlambat kerja karena menolong seorang lelaki yang kecelakaan.”
“Itu bukan alasan untuk dipecat, ‘kan?” alis Abi hampir bertaut heran. Dia berjalan ke dalam kamar, lalu duduk di kursi dekat jendela. “Apalagi kamu salah satu montir andalan Dealer tersebut.”
Vita mengangguk, “Seharusnya. Kalau pacaramu bukan boss disitu yang cemburu karena kamu menolong seorang lelaki, lalu menungguinya sebentar sehingga terlambat kerja.”
Tanpa sadar mulut Abi terbuka, “Pacar? Kamu ... dan boss-mu?”
Vita menyeringai, “Iya.”
“Kamu sudah kembali normal?” pertanyaan itu yang terlintas di otak Abi.
“Mana mungkin!” sanggah Vita cepat. “Lelaki itu pembawa sial. Aku tidak berminat berdekatan dengan mereka, apalagi pacaran.”
“Terus boss-mu?”
“Tentu saja perempuan.”
“Bagaimana bisa?” Abi terbengong takjub.
Mengetahui cita-cita Vita sebagai montir—kemudian gadis itu benar-benar menjadi montir—saja sudah membuat Abi takjub. Sekarang mendengar seorang wanita menjadi boss cabang salah satu dealer sepeda motor terkenal di Indonesia. Dunia saat ini sudah menjadi lahan pertempuran lelaki dan perempuan.
“Tentu saja bisa. Kalau tidak, bagaimana kami bisa pacaran?” Vita melengos, dan bergerak keluar kamar setelah menekan ujung rokok ke dalam asbak hingga padam.
Abi jadi penasaran, “Mana fotonya? Sini! Aku mau lihat.”
Dia mengikuti Vita yang menuju dapur. Ingin membuktikan kalau wanita itu sama gagahnya seperti Vita.
“Iuhh!” Abi bergidik ngeri melihat Vita menuang sereal ke dalam mangkuk berisi susu. “Mengapa harus sereal, sih? Sereal itu sarapan, bukan untuk makan malam.”
“Aku lapar,” jawab Vita sekenanya.
“Di dalam kulkas masih ada cheesecake. Daging sapi dan beberapa sayuran juga. Nasi pun masih di ricecooker.
“Ribet,” respon Vita malas, mulai menyuap serealnya.
Abi geleng-geleng kepala. Entah bagaimana mulanya, Vita dan sereal seperti pasangan yang sulit dipisahkan. Dimana ada Vita disitu ada sekotak sereal dan susu cair. Bukankah ada makanan yang lebih enak dari sereal yang bisa dijadikan sebagai favorit?
“Mana foto boss-mu itu? Tunjukkan padaku!” ujar Abi sembari duduk di kursi makan depan Vita.
“Bukannya tidak adil disaat kamu melarang sekedar membaca kartu nama, tapi malah memaksa untuk melihat foto pacarku?”
“Ayolah Vita!” rayu Abi. “Lagipula kamu sudah sempat membacanya.”
Vita memutar bola mata, namun kemudian tangannya bergerak mengeluarkan smartphone dari saku. Mengutak-atiknya sebentar sebelum memberikan pada Abi.
Abi menyambar smartphone itu cepat. Melihat ke layar yang di dalamnya terlihat foto seorang perempuan cantik. Pupilnya melebar takpercaya, “Kamu yakin kalau wanita ini penyuka sesama?”
“Tentu saja! Kalau tidak bagaimana mungkin kami pacaran,” jawab Vita sebal dengan pertanyaan Abi.
“Tapi dia begitu ‘wanita’. Tersentuh makeup dan perawatan,” Abi masih kurang yakin.
Vita berhenti menyuap sereal, “Ada masalah dengan makeup dan perawatan?”
“Naomi mengatakan kamu seperti sekarang ini,” mata Abi menatap Vita—yang kembali menyuap sereal—penuh arti ketika mengatakan itu, “karena tidak pernah tersentuh makeup dan perawatan.”
Vita berhenti mengunyah, menelan dengan cepat sebelum tertawa keras. “Dan kamu percaya?” tanyanya, kemudian kembali tertawa membuat Abi cemberut. “Aku tidak pernah berpikir kalau kamu sebodoh ini.”
“Tidak lucu!” seru Abi gemas.
Vita berusaha menahan tawa melihat wajah Abi yang tertekuk, “Setiap orang punya alasan sendiri atas jalan yang dipilih Abi. Mungkin, aku bisa dikategorikan sebagai yang tidak pernah tersentuh makeup dan perawatan. Tapi alasan menjadi ‘berbeda’ itu sangat banyak.”
Wajah Abi normal kembali. Malah terlihat berbinar. Vita menyadari akan menjadi panjang jika membiarkan Abi bertanya lebih lanjut. Ekspresi itu akan terlihat saat Abi ingin tahu detil tentang bahasan yang membuatnya tertarik.
“Jadi, mau cerita siapa itu Abdiel?” tanya Vita mengalihkan topik pembicaraan.
Wajah Abi memerah tiba-tiba. Dia menjadi gugup. Ah, dia malu untuk bercerita adegan aneh di cafe tadi siang.
“Hei, sepertinya dia orang yang spesial!” goda Vita.
“Bukan!” Abi menyanggah cepat. “Dia ... dia ....”
“Ayolah! Mengapa jadi gugup begitu?” Vita kembali menggoda.
Abi terdiam sesaat sebelum bertanya, “Apa menurutmu wajar seorang lelaki mengajak menikah seorang wanita yang belum dikenal sama sekali?”
“Wow!” Vita takjub, selanjutnya bersiul. “Pasti lelaki itu sakit jiwa.”
“Vita, aku serius!” Abi tidak senang mendengar jawaban Vita. Entah mengapa dia ingin mendengar sebuah dukungan.
“Aku juga,” ucap Vita. “Kamu pikir lelaki normal mana yang melamar wanita yang tidak dikenal sama sekali?”
Abi terdiam beberapa saat. “Memangnya lelaki normal akan melakukan apa?”
“Melakukan yang kulakukan,” jawab Vita mantap. “Jatuh cinta, melakukan pendekatan, lalu pacaran. Beberapa waktu pacaran, merasa yakin, baru melamar.”
Abi mendengus. “Itu bukan lelaki, tetapi banci!” sinisnya. “Kalau tidak, itu remaja putra yang belum berani mengemban tanggung jawab.”
Well, aku memang bukan lelaki,” balas Vita tidak tersinggung seperti tadi. Santai dia menyuap sesendok sereal lagi sebelum mengunyah sebentar dan menelan. “Tapi pastinya, dimana-mana sebuah hubungan itu perlu proses, Bi. Kamu tidak ingin salah pilih pasangan, ‘kan?”
Abi bersungut. “Apa tidak ada cara lain selain itu? Seleksi pasangan tidka harus pacaran, ‘kan?”
Vita menggedikkan bahu. “Trend di masyarakat kita ya pacaran.”
Abi mencibir. Dia benci dengan kebiasaan itu.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Vita sedikit penasaran. “Menerima lamarannya?”
“Dia tidak melamar,” sanggah Abi. “Ah ...” dia terlihat berpikir, “mungkin itu bisa disebut lamaran. Tahu ah, bingung!”
“Terima saja,” saran Vita enteng.
Ish, tidak mau! Aku belum kenal dia. Tidak tahu bibit, bebet, bobotnya,” tolak Abi mentah-mentah. “Dia memang keren dengan mengabaikan sebutir gigi geraham depan yang tidak berada ditempatnya. Tapi itu tidak cukup. Mana tahu dia penderita AIDS yang sedang mencari mangsa. Atau mungkin playboy cap ayam kuntet yang sok kecakepan.”
“Sebutir gigi geraham depan yang tidak berada ditempatnya?” tanya Vita mengabaikan kalimat Abi yang lain sembarimeraih gelas berisi air putih disamping mangkuk sereal. “Maksudmu gingsul?”
“Bukan!” Abi menggeleng bersamaan dengan Vita yang meneguk air. “Hilang Vit, bolong, ompong. Gigi geraham depan kanan samping taring Abdiel itu tidak ada ditempatnya alias rongak.”
Hampir saja Vita menyemburkan air putih yang baru saja masuk dalam mulutnya. Tawanya meledak setelah meloloskan air putih masuk ke perut melalui tenggorokan.
“Serius?” tanyanya meyakinkan.
Abi mengangguk. Vita pun kembali tertawa membayangkan sosok Abdiel—yang entah seperti apa—tanpa gigi geraham depan.
“Pasti usia si Abdiel ini 80 tahun, ya? Kakek-kakek,” ejek Vita sebelum kembali tertawa.
“Sembarangan!” protes Abi taksenang Vita menjelek-jelekkan Abdiel. “Usianya baru 35 tahun. Masih segar-bugar. Masih gagah. Masih fresh, menarik,” Abi berhenti sebentar. “Well, abaikan rongaknya itu.”
Spontan Vita lagi-lagi tergelak, “Sepertinya sudah ada yang naksir di sini.”
“Siapa?!”
“Kamu.”
Ish, tidak!”
“Baiklah, baiklah!” Vita berlagak mengalah sembari bangkit dari duduknya.
“Mau kemana?” tanya Abi yang merasa percakapan mereka belum selesai.
“Mandi. Gerah.”
“Tapi kamu belum cerita tentang pacarmu itu”
Abi berusaha mencegah. Dia masih penasaran mendengar kisah Vita dan wanita cantik yang merupakan boss-nya Vita itu.
“Lain kali, deh! Aku capek, habis mandi mau tidur.”
Abi mendengus kecewa. Tapi dia tidak memaksa lagi. Sepertinya, bukan sekarang waktunya untuk tahu.
***

Malam sudah larut. Abi masih sibuk membuat soal ujian di depan televisi ketika Naomi pulang. Dua minggu lagi Ujian Akhir Semester di sekolah tempat dia mengajar akan berlangsung. Sebagai seorang guru, sejak kemarin dia mulai disibukkan oleh kegiatan membuat soal ujian. Terlebih, dia merupakan guru Matematika. Harus teliti dalam membuat soal dan kunci jawaban.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.15 malam, namun tidak terlihat raut kelelahan di wajah Naomi. Dia sumringah. Begitu gembira sampai-sampai menghampiri Abi hanya untuk bercipika-cipiki.
“Abi, aku senang sekali!” seru Naomi girang.
Kedua tangannya masih melingkar di leher Abi. Pelipis mereka bahkan saling menempel.
“Apa, sih?” Abi berusaha membebaskan diri dari pelukan Naomi. “Aku sedang sibuk Naomi.”
“Abi, aku senang!” Naomi tidak mengacuhkan keluhan Abi. “Suni sweet sekali hari ini. tadi kita masak bersama, lalu makan malam romantis di kontrakannya.”
“Cih, apanya yang romantis hanya makan malam berdua di rumah? Kontrakan pula,” cela Abi.
Naomi langsung melepas pelukannya, “Romantis Abi. Sebagai programmer, Suni biasanya terlalu sibuk di depan komputer. Dan tadi dia menyempatkan diri menemaniku memasak. Kyaaa ... Itu romantis!”
Abi mencibir. Tetapi Naomi tidak peduli. Dia malah asik melanjutkan cerita.
“Pulang dari kontrakan Suni, aku menemukan kedia teh baru. Kamu tahu, Bi?”
“Tidak,” sambar Abi.
“Abi gitu deh!” Naomi kesal Abi memotong kalimatnya. “Kedai teh itu kecil, Abi. Tapi varian teh yang tersedia banyak. Ya Tuhan! Akhirnya aku menemukan juga kedai teh yang menarik.”
Abi memutar bola mata melihat ekspresi Naomi yang mulai berlebihan, “Memangnya Suni betah berlama-lama di kedai teh?”
Naomi menggeleng, “Aku ke sana sendiri.”
“Jadi kamu pulang sendiri?!” Abi kaget. “Semalam ini?”
“Dih, Abi! Ini belum jam 12 malam. Lagipula aku sudah besar, udah dewasa. Usia kita sama-sama 23 tahun.”
Abi menghela nafas, “Mengapa tidak diantar Suni?”
“Dia sibuk Abi. Tadi juga masih harus menyelesaikan pekerjaan,” bela Naomi. “Selain itu kami pacaran sudah empat tahun, Bi. Sudah saling mengerti dan memahami.”
Reflek Abi mengecimus, mual mendengar kalimat Naomi. “Sok memahami iya. Hubungan kalian itu berjalan satu arah tahu. Nyatanya selalu kamu yang harus mengerti Suni.”
“Jangan mulai, Bi. Aku tidak mau kita bertengkar dengan bahasan yang sama.”
Abi menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya berat. “Aku tidak akan pernah bosan mengatakan kalau kamu butuh kandidat baru Nao. Apa kamu tidak lelah?”
Naomi terdiam. Tidak lama sebelum ekspresinya ceria kembali, “Aku sudah memberitahu kandidat terakhir. Lusa kalian bisa bertemu pas makan siang. Di cafe yang tadi.”
Abi menghela napas sadar kalau Naomi berusaha melarikan diri, “Baiklah. Terima kasih.”
“Oke,” Naomi mencuil dagu Abi, “aku duluan. Mau mandi dan istirahat.”
Abi mengangguk dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Naomi balas tersenyum, lalu beranjak masuk kamar.
Abi memijat dahinya pelan. Dia khawatir dengan masa depan Naomi bila masih bersama Suni. Dia tidak ingin lagi melihat air mata Naomi jatuh karena lelaki itu. Dia juga tidak mau melihat lebam yang kadang membekas di kulit Naomi karena dipukul. Tapi apa yang bisa dia perbuat jika Naomi sendiri yang tidak mau bebas?
Gadis ini menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Bukan saatnya memikirkan nasib orang lain. Dia harus menyelesaikan pembuatan soal dan menyiapkan diri untuk lusa. Ya, dia punya kehidupan sendiri yang harus lebih diperhatikan.
***

Abi melirik jam tangannya. Hari minggu siang ini begitu panas. Dia sudah meminum dua gelas es lemon tea, tapi kandidat terakhir dari Naomi itu belum terlihat. Padahal waktu telah berlalu 30 menit dari jam janji temu.
Gadis ini menyuap cheesecake-nya. Bersyukur ini hari minggu, jadi dia punya banyak waktu untuk menunggu. Lagipula suasana cafe ini nyaman, membuat betah untuk berlama-lama duduk diam menikmati pesanan.
“Sorry saya telat,” sapa sebuah suara yang pemiliknya langsung duduk di depan Abi.
Abi mendongak dan langsung mendapati wajah sederhana lelaki mapan. Tidak buruk. Cukup menarik dan rapi. Wajahnya sedikit mengingatkan Abi dengan seseorang, tapi dia lupa siapa.
“Saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditunda meski hari minggu sekalipun,” lanjutnya sebelum melambai, memanggil pelayan.
Abi mesem. Dia langsung tak berminat mendengar penjelasan itu. Lelaki sibuk, huh!
“Namamu Abi, ‘kan?” tanya lelaki itu setelah memesan. “Kamu menarik. Persis seperti deskripsi Naomi.”
“Terima kasih,” ucap Abi berusaha sopan.
“Saya dengar kamu seorang guru, ‘kan?” tanyanya. Akan tetapi, belum sempat Abi menjawab lelaki itu sudah berkata lagi, “Mengapa tidak menjadi sekretaris saja seperti Naomi? Pasti seru kalau kamu jadi sekretaris pribadi saya.”
Abi mengernyit taksenang. Dia sudah akan mengatakan sesuatu saat pesanana lelaki itu datang. Mendadak Abi merasa lega. Sementara waktu ada yang menyumpal mulut lelaki itu agar tidak berbicara lebih banyak. Abi takut dia tidak bisa menahan diri untuk menendang orang di depannya ini ke luar cafe.
“Naomi bilang namamu Arlon, ‘kan?” kali ini Abi berusaha mengambil alih pembicaraan.
Lelaki itu mengangguk, sambil tetap mengunyah. Abi tersenyum samar memikirkan banyak waktu untuknya memegang kendali.
“Usiamu 31 tahun, ‘kan? Usia yang menarik.”
Lelaki yang bernama Arlon itu tersenyum bangga.
“Tapi mengapa orang sepertimu belum menikah?” tanya Abi sengaja. “Itu sedikit aneh.”
Arlon mempercepat kunyahannya sebelum menelan dan menjawab, “Terlalu banyak wanita matre di dunia. Mereka mendekati saya hanya untuk uang dan berselingkuh di belakang.”
Abi kasihan mendengarnya. Sayangnya, bukan rasa kasihan yang membuat tersentuh atas kemalangan Arlon. Tapi kasihan karena lelaki itu tidak sadar kalau hampir penyebab hancur hubungan itu pasti karena dirinya sendiri.
“Perhatian seperti apa yang kamu berikan kepada mereka?” tanya Abi berusaha terdengar simpati.
“Saya terlalu sibuk, tapi saya berusaha memenuhi kebutuhan belanja mereka. Dan berusaha meluangkan waktu sebanyak yang saya bisa,” jawab Arlon sebelum meneguk minumannya.
See! Abi tahu lelaki ini terlalu sibuk dengan urusannya sendiri dan ingin pasangannya selalu mengerti. Persis sama seperti Suni pacar Naomi. Maaf saja, dia tidak ingin terjebak dalam masalah yang sama.
“Jadi, kamu sudah lelah dengan itu semua. Karena itu memutuskan untuk serius dengan menerima pertemuan kita ini,” tebak Abi.
Arlon tergelak, “ Saya selalu serius Abi. Mereka saja yang tidak menghargai keseriusan itu.”
Abi mencela dalam hati. Serius, tapi hanya menjejali pacarnya dengan uang. Lalu setelah putus dengan santai bilang kalau wanita sekitarnya terlalu matre.
“Jujur, aku sedang mencari calon suami. Apa kamu bisa menikahiku dalam waktu dekat, seandainya kita berdua cocok?”
Arlon tergelak lagi, “Tidak secepat itu Abi. Kita baru bertemu sekali. Saya belum terlalu mengenal dirimu. Mungkin kita bisa memulai dengan berpacaran beberapa waktu untuk melihat kecocokan itu.”
“Kalau begitu ...”
Kalimat Abi terpotong oleh dering telepon dari saku Arlon. Lelaki itu segera menjawab panggilan. Setelah berbicara sebentar dia menatap Abi menyesal, “Maaf, saya harus segera pergi. Masih banyak hal yang harus saya selesaikan hari ini. senang berjumpa denganmu, Abi. Saya harap kita bisa mengatur waktu untuk bertemu lagi.”
Abi hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan Arlon. Lain kali dengan lelaki seperti ini? Terima kasih, dirinya tak berminat.
Arlon pun pergi. Abi menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dia lelah.
Cheesecake terlihat tidak menarik lagi. Begitupun es lemon tea. Dia sibuk merutuki lelaki yang seperti apapun sama saja. Hanya mengambil keuntungan dari perhatian wanita tanpa ingin repot terkekang dalam suatu ikatan.
Bisa jadi dia terdengar egois. Tapi tidak baginya. Dia hanya ingin mencari pendamping hidup serius, yang tidak memanfaatkan situasi. Seorang lelaki yang berkomitmen dan bertanggung jawab. Apa itu begitu sulit sekarang ini?
“Kecewa, hum?” tanya sebuah suara dari belakangnya.
Seketika Abi menoleh. Matanya melotot mendapati seseorang yang ingin dia geser dari otaknya duduk manis di sana, tepat di kursi belakangnya.
“Kamu!?”
....
***
Bersambung....












Tidak ada komentar:

Posting Komentar