Pagi minggu yang cerah Abi sudah sangat rapi
memakai terusan hitam, kerudung warna abu-abu gelap, dan kemeja besar warna kuning. Dia duduk gelisah
di depan televisi. Sesekali melirik jam tangan, lalu melihat pintu depan,
kemudian kembali menonton. Begitu hingga beberapa kali.
“Kalau begitu terus kamu bisa pusing kepala, Bi!”
tegur Naomi yang juga sudah rapi.
Abi mesem. “Sudah mau pergi? Bukankah biasanya jam
10? Ini baru jam 8.30.”
“Iya, nih! Ada acara di gereja, jadi harus datang
lebih pagi,” jawab Naomi sambil memasang sandal tumit tingginya. “Thanks sarapannya, Bi. Nasi gorengnya
enak.”
Abi mengangguk sembari tersenyum.
“Ah, iya! Sukses, ya! Walau kecewa kita tidak bisa
jadi saudara ipar, tapi aku senang kamu punya pilihan sendiri.”
Abi sudah menceritakan tentang Abdiel pada Naomi
dan Vita. Juga tentang rencana Abdiel ingin membawanya pergi minggu ini setelah
minggu lalu mereka berkenalan dengan benar.
Abdiel sempat membuatnya tersentuh juga bingung.
Lelaki itu tidak meminta atau memberi nomor telepon yang bisa dihubungi. Tidak
juga memberi atau meminta alamat email.
Abdiel hanya mengantar—lebih tepat mengiring—nya sampai kontrakan hari itu. Kemudian
berkata akan menjemput minggu pagi berikutnya—hari ini.
Namun, ada satu kata Naomi yang mengganggunya
sekarang. “Saudara ipar?”
“Iya, saudara ipar.”
Abi tidak bisa menutupi ketidakpahamannya.
“Maksudmu?”
“Arlon si kandidat terakhir itu kakak Suni,” jelas
Naomi semangat. “Kalau kamu berubah pikiran katakan saja. Aku akan senang
sekali jika kita benar-benar menjadi saudara ipar.”
Abi senyum setengah hati. Berubah pikiran untuk
lelaki sok sibuk seperti Arlon? Terima kasih, tapi dia tidak berminat. Apalagi
tahu itu kakaknya si Abusiver. Pantas
saja Abi merasa wajah Arlon tidak asing. Ternyata mirip Suni.
“Tidak. Tapi terima kasih sudah membantuku
mencarikan kandidat sebulan ini,” ucap Abi tulus.
“Itu gunanya sahabat, ‘kan?” Naomi langsung
berdiri. “Aku pergi dulu,” ucapnya sembari mendekati Abi dan menempelkan
pipinya kiri dan kanan. “Semoga hari ini menyenangkan.”
“Kamu juga,” balas Abi. “Hati-hati!”
“Oke!” Naomi melambaikan tangannya sebelum menghilang
di balik tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu.
Abi menghela napas. Melirik jam tangannya lagi
sebelum fokus pada siaran berita di salah satu channel televisi nasional. Ini terasa lama dan menjengkelkan.
“Nggg,
Bi!” tiba-tiba kepala Naomi menyembul dari balik dinding pembatas.
“Ada yang tertinggal?” tanya Abi heran melihat sahabatnya
ini berbalik.
“Tidak, tapi ...”
“Hai!” sapa seseorang dari belakang Naomi.
“Aa’!” Abi kaget lebih kepada penampilan Abdiel
yang memukau dengan sweater rajut gradasi warna coklat muda ke gelap dan celana
jeans hitam.
“Yak, begitulah! Jemputanmu sudah datang. Aku
ingin memberitahukan itu tadi,” ujar Naomi menyadarkan Abi dari keterpanaan.
“Aku pergi!”
Sekali lagi Naomi pamit setelah memberikan
komentar lewat bisikan jauh—yang membuat Abi memutar bola mata—berbunyi, “Dia
tampan!”
Abdiel berdehem mencuri perhatian Abi. “Aku pikir
akan menunggumu bangun dan mandi terlebih dulu, ternyata kamu sudah sangat
siap.”
Abi mencibir. “Salah siapa yang hanya menyebut
kata pagi tanpa jam yang pasti?”
Lelaki ini tersenyum sambil menatap Abi dari jauh.
“ Aku tidak tahu bahwa kamu begitu antusias dengan ajakan pergi itu. Dan aku senang
mengetahuinya.”
“Ini bukan karena antusias!” sanggah Abi
berbohong. Dia malu mengakui kebenaran kalimat Abdiel. “Aku memang terbiasa
bangun pagi, mandi, dan berpakaian rapi meski hari minggu sekalipun.”
“Benarkah?” Abdiel sengaja memperdengarkan nada
takpercaya. “Itu kebiasaan yang baik.”
Abi memutar bola mata mendengar sindiran halus
itu. “Apa kamu mau berdiri di sana terus?”
Sejak tadi Abdiel belum beranjak dari jalan masuk
antara ruang tengah dan ruang tamu. “Apa aku boleh masuk?”
“Tidak,” jawab Abi setelah berpikir cukup lama. Mereka
bertemu baru dua kali. Meski sudah berkenalan bukan berarti dia mempercayai
Abdiel. Mempersilahkan Abdiel masuk ke ruang tengah dan ikut menonton televisi
bukan pilihan yang baik. Terlebih mereka hanya berdua. Vita sudah berangkat
kerja sejak pukul tujuh. “Lebih baik kita langsung pergi.”
Gadis ini bergerak memeriksa pintu dan jendela.
Kemudian memeriksa isi tasnya sebelum meraih kunci sepeda motor di atas meja.
Dia siap.
“Sepertinya kamu tidak perlu kunci itu hari ini,”
kata Abdiel sambil menunjuk kunci yang Abi pegang. “Aku tidak rela jika harus
seperti kemarin. Membiarkanmu membawa sepeda motor dan aku hanya bisa mengekor
dari belakang.”
Abi langsung bersikap waspada. “Terima kasih, tapi
aku merasa lebih aman berkendara sendiri.”
“Sekarang sedang musim hujan. Bagaimana kalau
tiba-tiba turun hujan?” Abdiel berusaha memaksa.
“Aku bawa mantel,” jawab Abi.
“Kamu membuatku seperti lelaki yang tidak
bertanggung jawab kalau membiarkanmu melakukan itu.”
“Maaf, tapi aku harus.”
“Apa yang kamu khawatirkan?” tanya Abdiel yang
melihat kegusaran Abi.
“Kita ...” Abi ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Kita?”
Gadis ini menghela napas berat. “Maaf, aku belum
percaya denganmu. Kita baru kenal. Mana tahu kamu akan membawaku ke pelabuhan
dan menjualku ke luar negeri. Kamu hanya mengajakku pergi tanpa menyebutkan
tempat sama sekali.”
Abdiel terpaku sebentar sebelum tergelak.
“Tidak lucu!” ucap Abi langsung mencebikkan bibir.
“Sorry,”
Abdiel berusaha menghentikan tawa. “Aku hanya berpikir kerja otak kirimu
menakjubkan. Minggu kemarin mencurigaiku sebagai penderita AIDS dan hiper-seks.
Sekarang sebagai penjual manusia. Analisis dan perkiraan. Logikamu aktif sekali.”
“Kamu menyindirku!” ujar Abi taksenang. “Aku sadar
kalau mudah cemas dan sering menaruh curiga pada orang lain, tapi kamu tidak
perlu menyindir.”
“No!
Tidak Abi, aku memuji.”
Abi berdesah takpercaya.
“Oke, sorry
kalau kalimatku melukai egomu. Aku tidak bermaksud begitu,” Abdiel berusaha
memperbaiki suasana. “Kamu tetap pergi denganku. Tenang saja, kita tidak
berdua. Jadi, kamu bisa bernapas lega.”
Abi menjengkit. “Kamu membawa teman untuk
menculikku?!”
Abdiel menepuk dahinya frustasi. Tangannya
mengacak rambut, bingung.
“Ayo keluar! Kuperkenalkan kalian agar kamu merasa
aman,” putus Abdiel akhirnya setelah berpikir sembari memberi kode pada Abi
agar ikut keluar.
Abi mengekor hati-hati. Berhenti di teras ketika
takbisa melihat siapapun yang ada di dalam mobil. Dia baru menyadari mobil
Abdiel menggunakan kaca gelap.
Dahinya berkerut. Memangnya masih boleh
menggunakan kaca gelap untuk mobil di Indonesia? Pikiran-pikiran negatif
kembali berkumpul dalam otak.
“Kemari!” panggil Abdiel.
“A-aku di sini saja,” tolak Abi.
“C’mon, Abi!”
Abi menggeleng tegas.
Abdiel terlihat kecewa, tapi dia tidak memaksa
lagi. Tangannya membuka pintu penumpang, membuat Abi waspada dengan memasang
kuda-kuda aneh. Kemudian dengan kedua tangannya menarik sesuatu dari dalam
mobil. Abi semakin siaga. Dan ....
Abi membelalak mendapati apa yang ada di gendongan
Abdiel sekarang. Telunjuknya mengacung ke arah Abdiel. “Kamu seorang penculik
bayi?!”
Tertular kebiasaan Abi, Abdiel memutar bola mata.
Dia tidak mengerti otak Abi terus saja berpikir kreatif memberikan tuduhan.
Pelan dia membawa bayi laki-laki itu mendekat ke
tempat Abi berdiri. Sedangkan Abi mundur selangkah ketika Abdiel dan si bayi
sudah berhenti dihadapannya. Dia tidak ingin dikira sebagai komplotan penculik.
“Atila, salim tangan tante!” ujar Abdiel bicara
pada bayi tersebut.
Si bayi menatap wajah Abi yang kebingungan dengan malas.
Lalu memalingkan wajah, meletakkan pipinya di bahu Abdiel. Kedua tangannya
memeluk leher lelaki itu.
Sebagai wanita yang ingin menikah dan penyuka
bayi, Abi merasa kecewa melihat bayi yang dipanggil Atila itu berpaling. Pantang
baginya dipandang musuh oleh seorang bayi. Seketika kewaspadaannya langsung
menghilang.
“Hai, Atila!” sapa Abi bergerak ke depan pandangan
Atila.
Abi sengaja tidak menyentuh Atila. Menurut
pengalaman merawat Qori, anak kakaknya. Bayi akan lebih dulu menyapa dengan
sentuhan kalau dia sudah merasa aman. Jika kita gegabah menyentuhnya malah
membuat bayi semakin waspada dan menjauh.
Atila memandang Abi lagi sebelum menyembunyikan
wajahnya di bahu Abdiel. Beberapa detik kemudian mengintip dan mendapati wajah
Abi yang tersenyum. Lalu, menyembunyikan wajahnya lagi.
“Sepertinya dia malu,” ujar Abdiel melihat tingkah
Atila. “Atau mungkin karena baru bangun tidur jadi kurang bersemangat.”
Abi mengangguk. “Mau duduk dulu?”
“Kami boleh masuk?” tanya Abdiel memastikan.
“Tidak,” geleng Abi. “Duduk di situ saja.” Abi
menunjuk kursi yang ada di teras.
Tanpa mengatakan apapun Abdiel langsung menuju ke
sana. Dia mengambil posisi yang nyaman sebelum mendudukkan Atila dipangkuannya.
“Jadi, siapa Atila?” tanya Abi mengutarakan rasa
penasaran. “Anakmu?”
“Menurutmu?” tanya Abdiel balik sembari
menyeringai. Dia ingin sedikit bermain-main dengan rasa penasaran gadis ini.
Abi mengamati wajah Atila yang sedang bermain
dengan jari telunjuk Abdiel. “Tidak mirip denganmu. Lebih kepada wajah pribumi.
Tapi siapa tahu? Bisa jadi wajah Atila mirip istrimu.”
Abdiel tersenyum miring. “Iya, dia mirip ibunya.”
Abi mengamati wajah Abdiel takyakin. “Jadi benar
Atila anakmu?”
“Bisa dikatakan begitu,” jawab Abdiel santai
sambil mengusap kepala Atila yang berkeringat.
Hati Abi mencelos. Kekecewaan tumbuh di dalamnya.
“Mana ... ibunya?”
“Sedang pergi,” lagi-lagi Abdiel menjawab dengan
santai. Malah terkesan sibuk berusaha mendengarkan celoteh Atila yang seperti
bisikan.
Abi menelan ludah membasahi kerongkongannya yang
kering. Ada nyeri di sana, di ulu hati.
Abdiel ternyata sudah menikah dan punya anak. Lalu apa maksud tawaran
pernikahan itu?
“Ngg ... Aku ... Akan kubuatkan teh!” seru Abi
langsung berdiri cepat. Dia harus masuk ke dalam. Dirinya butuh tempat untuk
menstabilkan emosi.
Cepat Abdiel menangkap sebelah lengan Abi yang
tertutup tangan kemeja. “Tidak usah. Lebih baik kita segera pergi. Aku berjanji
pada Ibu dan Ayah Atila untuk membawa anak mereka jalan-jalan.”
Abi terpaku berusaha mencerna ucapan Abdiel.
Kemudian memutar tubuhnya menghadap lelaki itu. mulutnya mengatup rapat.
Rahangnya tercetak jelas.
“Aku tidak berbohong,” ucap Abdiel sebelum Abi
meledak. “Atila memang anakku. Anak angkat.”
Abi masih diam. Matanya garang menatap Abdiel.
Tapi rengekan Atila menyiram emosi gadis ini. dia menarik napas dalam dan
memejamkan mata. Lalu perlahan menghembuskannya.
Dia tidak boleh marah-marah di depan seorang bayi.
Nasehat kakaknya yang mengatakan bahwa perasaan para bayi masih lembut dan
sensitif terngiang-ngiang. Sejatinya gadis ini tidak ingin menjadi penyebab
ketakutan bagi salah satu dari mereka.
“Baiklah, aku kunci pintu dulu.”
Abi menuju pintu dan menguncinya. Semua sudah
beres kecuali satu masalah, Atila. Bayi itu belum mau menyentuh Abi sama
sekali.
“Apa kamu akan memangku Atila sambil menyetir?”
tanya Abi.
Abdiel menggeleng. “Coba kamu ambil dia dariku.”
Abi langsung mengulurkan kedua tangannya ke depan
Atila. “Atila,” panggilnya, “ayo sama tante.”
Atila menatap tangan Abi. Bayi iti terlihat ragu.
Lalu melirik pada Abdiel. Abdiel tersenyum dan mengangguk. Melihat itu Atila
perlahan menaikkan tangannya, minta diambil.
Senyum senang terlihat di wajah Abi. Tanpa
menunggu lagi diambilnya Atila ke dalam gendongan. Tangan bayi itu melingkar
erat di lehernya. Abi langsung mengelus punggung Atila. Menyampaikan pesan
bahwa bayi itu akan aman dan nyaman bersamanya.
Sepertinya Atila menerima maksud Abi. Bayi itu
mulai rileks sekarang. Kepalanya pun mulai bersandar nyaman di bahu Abi.
“Kamu sudah seperti seorang ibu,” komentar Abdiel
saat mereka berjalan menuju mobil.
“Aku memang calon ibu,” balas Abi setengah
tertawa.
“Ya,” Abdiel membukakan pintu mobil untuk Abi.
“Calon ibu anak-anakku.”
Abi naik ke dalam mobil secara hati-hati dengan Atila
yang tetap dalam gendongannya. Kemudian duduk nyaman di samping kursi
pengemudi. “Om-om yang terlalu percaya diri.”
Abdiel nyengir jail mendengar kalimat itu. Sebelum
menutup pintu dia berkata, “Dan kamu suka om-om itu.”
Abi langsung memutar bola mata. Namun sebuah
senyuman tidak bisa ditutupi muncul di wajah itu.
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar