Abi tak ingin percaya, tapi wajah itu tepat di depan mata. Bibirnya terasa
dingin. Pasti warnanya berubah pucat. Pinggang yang mulai sakit karena tubuhnya
memutar waktu menoleh kebelakang terabaikan. “Mengapa kamu disini?”
Untuk kedua kalinya pada waktu yang tidak lama Abi menoreh sejarah
memalukan dalam hidup. Dua kali, orang yang sama memergokinya saat sedang
mempermasalahkan tentang pendamping hidup. Dua kali kebetulan yang sangat
sempurna.
Kebetulan?
Rasa curiga kemudian muncul dengan praduga-praduga yang sambung-menyambung.
Siapa Abdiel? Mengapa mereka harus bertemu di tempat yang sama dalam posisi
yang hampir sama? Apa lelaki ini mengikutinya?
Senyum gigi terawat memesona meski sebutir gigi seri dekat taring tak terlihat
disana tidak mengurangi kharisma pemiliknya. “Ini tempat umum, setahuku,” jawab
Abdiel santai membuat Abi ingin menimpukkan tas tangan yang dia bawa ke wajah
itu. “Aku biasa makan siang di sini.”
Mata Abi memicing, “Ini kebetulan yang mencurigakan.”
Abdiel tersenyum miring, “Apa kamu percaya tidak ada kebetulan di dunia?”
“Maksudmu? Kamu sengaja mengikutiku, begitu?” tebak Abi percaya diri.
Sebelah alis Abdiel terangkat tinggi seolah berkata “siapa kamu sehingga
perlu kuikuti” membuat Abi mencebikkan bibir. Lalu lelaki ini tersenyum
misterius. “Bibir itu menarik.”
Abdiel mengatakan ini sekaligus menunjuk pada hal yang dimaksud. Abi
langsung memberikan pelototan kesal dengan tangan langsung mengayun tas ke
wajah Abdiel.
Abdiel berusaha menepisnya, namun Abi mengulang beberapa kali sehingga
lelaki ini pasrah. “Apa kamu tidak tahu kalau itu pelecehan? Dasar lelaki
kurang ajar!”
“Hei, hei, hei, don’t be rude, dear!”
tangan Abdiel menahan tas Abi ketika merasa mereka mulai jadi tontonan. “Aku
tidak mau kita berdua masuk berita di televisi dan koran dengan headline berjudul Merasa Dilecehkan Seorang Wanita Cantik Melakukan Penganiayaan.”
Abi mendengus, menghentikan aksi sekaligus memperbaiki duduknya. Efek
memutar badan membuat pinggangnya semakin sakit. “Itu terlalu bagus. Akan lebih
baik kalau judulnya ABG Tua Digebuk
Karena Melakukan Pelecehan.”
Abdiel tergelak, “ABG tua, ya? Sound
good! Berarti aku masih terlihat cukup muda.”
Abi berdecak sebal, kembali duduk membelakangi Abdiel sembari tangannya
terlipat di depan dada. Abdiel mengambil kesempatan itu untuk pindah, duduk di
meja yang sama dengan Abi.
“Kamu itu menyebalkan,” ujar Abi langsung memalingkan muka.
Abdiel tersenyum tipis, memandangi wajah cemberut Abi yang terlihat lucu.
Dia terus begitu sampai Abi merasa jengah
“Apa?” bentak gadis ini.
“Apa penawaranku kurang menarik sehingga kamu masih perlu melakukan
pertemuan dengan lelaki lain?” tanya Abdiel tak menyiakan kesempatan setelah
mendapatkan perhatian Abi kembali.
“Aku tidak mengenalmu!” sentak Abi dengan pandangan tajam menatap Abdiel
lurus.
“Karena itu, ayo kita kenalan,” balas Abdiel santai.
Abi berdecak, kembali memalingkan muka. “Aku tidak mau.”
“Mengapa?”
Abi mendelik. “Apa harus memiliki alasan?”
“Tentu saja. Setiap hal mempunyai alasan,” jawab Abdiel realistis.
“Kalau begitu, katakan apa alasanmu tiba-tiba menawariku sebuah
pernikahan?” todong Abi.
“Apa aku harus?” tanya Abdiel seakan sedang mengambil keputusan sulit.
“Tentu saja. Setiap hal mempunyai alasan,” balas Abi menirukan kalimat
Abdiel sebelumnya dengan niat menyindir.
Abdiel mengubah posisinya. Kaki menyilang dengan kaki kanan di atas kaki
kiri. Tubuhnya mundur kebelakang sehingga menyentuh senderan kursi. Jari
telunjuk kanan mengetuk meja berirama. Sedangkan tangan kiri berada di atas kepala
kursi, menumpu dagu. Terlihat meyakinkan sedang berpikir keras.
Abi memutar bola mata mencela melihat posisi Abdiel yang menurutnya terlalu
dramatik. Hal ini membuat Abi berspekulasi kalau Abdiel memunyai alasan negatif
dibalik penawaran itu.
“Jangan-jangan kamu pengidam AIDS, ya?” serang Abi. “Atau seorang hiperseks
yang perlu istri agar bisa ditunggangi kapan pun kamu butuh?”
Alis Abdiel naik sebelah, “Diagnosismu seram sekali! Apa aku sebegitu
mencurigakannya?”
“Mana aku tahu. Ini kan hanya sekedar spekulasi,” ketus Abi. “Lelaki
sepertimu ...” Abi menghentikan kalimatnya memandang Abdiel, “sedikit sulit
dipercaya belum menemukan pasangan hidup diusia 35.”
Abdiel tersenyum, “Aku anggap itu pujian.”
Abi kembali memutar bola mata.
“Kalau kujawab tidak mudah menemukan pasangan hidup yang cocok, apa kamu
percaya?”
“Tidak,” geleng Abi.
“Mengapa?”
“Nyatanya kamu berani menawariku sebuah pernikahan padahal kita tidak
saling megenal sama sekali. Jadi menurutku, kamu bukan tipe lelaki pemilih.”
“Hmm,” sikap duduk Abdiel sudah kembali santai dengan kedua tangan terlipat
di depan dada, “bagaimana kalau kubilang sudah bosan hidup membujang? Jadi aku
menemukanmu ketika hasrat berumahtangga itu muncul.”
Abi manggut-manggut, “Cukup masuk akal, walau tetap saja terbilang nekat.”
Abdiel menggelengkan kepala, “Ini bukan nekat. Kita bertemu di tempat dan
saat yang tepat. Kita sama-sama ingin menikah, dan kita bertemu.”
Abi tercenung mendengar ucapan Abdiel. Benarkah?
“Lalu, sekarang kita sudah boleh berkenalan?” tanya Abdiel membawa Abi ke
topik semula.
“Hah?”
“Baiklah, aku saja yang lebih dulu memperkenalkan diri,” ujar Abdiel yang
menyadari Abi sedang tidak fokus. “Namaku Abdiel Ghani Ariqin. Kamu bisa
memanggilku Abdiel, Abdi, Diel, dan Ghani. Ariqin nama keluarga. Sedikit
informasi Abdiel itu bukan nama favorit Ibuku. Beliau lebih senang memanggilku
Abduh atau Abdu.”
“Mengapa?” tanya Abi sedikit penasaran. “Bukankah Abdiel nama yang bagus?”
“Memang bagus. Artinya hamba Tuhan. Tapi, aku sering dikira non muslim
karena nama itu berasal dari bahasa Ibrani.”
“Kalau begitu, mengapa tidak ganti nama?”
“Nama itu pemberian kakek dari ayah. Ayah tetap menggunakannya untuk
menghormati beliau.”
“Ayahmu mualaf?”
“Bisa dikatakan begitu.”
Abi manggut-manggut. “Om Abdu bagaimana? Sepertinya keren memangilmu
begitu. Juga menghargai ibumu.”
Abdiel menggeleng. “Tidak. Kamu calon istriku, jadi jangan panggil om,
paman, dan sebutan lainnya yang menjurus. Itu akan memberi kesan kalau kamu
memiliki calon suami umur setengah abad.”
Abi tergelak. “Percaya diri sekali! Aku belum menerima tawaranmu.”
“Kita sedang menuju ke sana,” balas Abdiel yakin.
Abi mencibir. “Baiklah! Aa’ saja, diambil dari huruf depan namamu. Tidak
ada penawaran lagi.”
“Sound good! Itu terdengar lebih
mesra,” ucap Abdiel puas. “Oke, lanjut! Aku lahir di Jakarta, 20 Juni 1977.
Tinggal di Jakarta sampai SMA, lalu pindah ke sini sampai sekarang. Suku
campuran—India, Arab, dan Jawa. Bekerja sebagai pengusaha mebel. Sekarang masih
tinggal di rumah orang tua. Dan orang tua hanya tinggal Ibu. Ayah meninggal
lima tahun lalu.”
Reflek Abi mengucap kalimat istirja’, Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un. “Aku turut berduka cita.”
“Terima kasih,” ucap Abdiel dengan senyum lembut
memesona.
Jantung Abi berdetak kencang melihat itu. Abdiel
sempat beberapa kali memesonanya, tapi kali ini begitu berpengaruh.
“Mulai naksir, hum?” goda Abdiel yang melihat Abi terpana.
Abi langsung merubah ekspresinya sebelum
membantah. “Tidak.”
Abdiel tertawa. “Bukannya lebih baik kalau kamu
naksir.”
“Hoh!?”
Abdiel tertawa lagi melihat ekspresi kaget
setengah mencela yang terlihat di wajah Abi. Sepertinya, dia tidak bosan
menanti ekspresi aneh lain yang bisa gadis ini tunjukkan.
***
Satu persatu informasi tentang Abdiel masuk ke
otak Abi. Makanan favorit; tempat favorit; warna favorit; Latar belakang
pendidikan; prestasi yang kalau ditulis akan menjadi sebuah Curriculum Vitae lengkap. Otak memproses informasi tersebut dan
menyimpannya di tempat khusus agar tak terlupakan.
“Sekarang giliranmu,” pinta Abdiel.
“Tanya aku, dan akan kujawab.”
Abdiel menyeringai membuat Abi cemas terlebih
ketika lelaki itu berkata. “Baiklah, kamu yang meminta.”
“Abaikan saja! Aku akan bercerita sendiri,” Abi menarik
ucapannya.
“Tidak bisa. Hal yang sudah dikatakan tidak bisa
ditarik kembali.”
“Hmm ... baiklah! Tapi aku berhak tidak menjawab
hal yang tidak ingin kujawab.”
Abdiel mengangguk. Sedang Abi menjadi tegang.
Gugup dia menyendok cheesecake yang
sejak tadi terabaikan.
“Nama lengkapmu?” tanya Abdiel memulai dengan
pertanyaan yang sederhana.
“Abidah Azzahra,” jawab Abi singkat, padat, dan
jelas.
“Nama panggilanmu Abi, ‘kan?”
Abi mengangguk.
“Ceritakan padaku profil singkatmu!”
“Itu bukan pertanyaan,” protes Abi.
“Memang. Itu perintah.”
Abi mendesis sebal “Aku anak kedua dari tiga
bersaudara. Lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 23 tahun lalu. Tepatnya 18
Februari 1990.
Ayah dan ibuku dosen Bahasa Indonesia di sebuah
kampus negeri di kota asalku. Kakak tertuaku sudah menikah dan memutuskan
menjadi penulis agar bisa kerja di rumah sehingga tetap konsentrasi membesarkan
anak-anaknya. Adikku masih kelas XI, lelaki yang sangat suka olahraga. Dan aku
selepas kuliah masih bertahan di kota pelajar ini sebagai guru honor, juga
mengajar bimbel.”
“Mengajar apa?”
“Matematika.”
“Wow, menarik! Aku paling lemah di Matematika.
Jadi bisa memperbaiki keturunan,” canda Abdiel.
Abi hanya melengos, “Masih ada pertanyaan?”
“Tentunya,” jawab Abdiel mantap. “Katakan padaku
alasanmu ingin menikah diusia 23! Apa kamu tidak berpikir masih muda untuk
memikirkan pernikahan?”
Abi menyeringai. Abdiel mengatakan kalimat
sensitif. “Apa kamu akan menawarkan pacaran juga sebelum menikah?”
Abdiel tersenyum lembut dan menggeleng. “Aku
hanya ingin tahu alasanmu.”
Abi meraih gelas es lemon tea yang tidak dingin
lagi. Lalu menyeruputnya. Entah mengapa kerongkongannya mendadak kering melihat
senyum Abdiel untuk kesekian kali. Setelah itu memperbaiki posisi duduk sebelum
menjawab, “Supaya bisa punya anak minimal 4.”
Abdiel menegakkan punggungnya mendengar jawaban
Abi. Mulutnya sedikit terbuka
menyebutkan “ha” tanpa suara. “Itu jumlah minimal yang cukup banyak.”
Abi mengangguk. “Banyak yang mengatakan itu.
Tapi, aku terbiasa hidup dengan banyak kerabat. Sepupuku sangat banyak. Nenek
dari pihak Bapak punya anak 8. Setiap anak memberikan cucu minimal 2. Nenek
dari pihak Bunda lebih banyak lagi. Anak beliau ada 10. Anak pertama memberikan
cucu 5 orang. Kedua 4 orang. Ketiga 6 orang. Keempat satu orang. Keenam 2
orang. Ketujuh 5 orang. Kedelapan 3 orang.
Kesembilan 4 orang. Dan kesepuluh 2 orang.”
Abdiel manggut-manggut, takjub. “Keluarga yang
sangat besar kalau berkumpul.”
Abi mengangguk lagi, mengiyakan. “ Well, jadi bisa dikatakan pengaruh
lingkungan, aku juga ingin punya banyak anak. Sepertinya mengasyikkan saat tua
dikelilingi anak dan cucu yang ramai.
Lalu alasan lainnya masih ingin berusia tergolong
muda saat anakku remaja. Jadi anakku dan aku bisa ke salon bersama, belanja
bersama, dan jalan-jalan bersama. Aku pikir itu seru.”
“Alasan terakhir sederhana sekali,” ucap Abdiel,
lalu tergelak pelan.
Abi berdesah. “Mana enak punya anak remaja ketika
kita sudah lewat setengah abad.”
“Lalu, pernikahan seperti apa yang kamu
inginkan?” tanya Abdiel mengabaikan sindiran Abi.
Mulut Abi sedikit maju menandakan bahwa dia ragu
arah pertanyaan Abdiel. “Acara pernikahan atau rumah tangga harapanku?”
Abdiel menelengkan kepalanya ke kiri. Menatap Abi
dalam. Menyelami sesuatu dari kedua mata gadis ini. membuat Abi jengah dan
menunduk, berpura-pura sibuk dengan cheesecake
dihadapannya.
“Rumah tangga harapanmu.”
Abi mengangkat wajahnya, balas menatap Abdiel
mencari keseriusan dari pertanyaan itu. Kemudian duduk tegak ketika mengatakan,
“Rumah tangga yang aman dan nyaman bagiku, suamiku, dan anak-anak kami.”
Abdiel berdiam sebentar meresapi jawaban Abi
sebelum bertanya lagi, “Apa yang bisa kamu lakukan untuk mewujudkan itu?”
Abi menggedikkan bahu. “Entahlah. Aku belum
memikirkan itu terlalu jauh. Tapi, menurutku yang paling utama suamiku dan aku
harus punya visi yang sama. Bayangkan saja misalnya suamiku seorang presiden
dalam rumah tangga kami, lalu aku wakilnya. Pasti rumah tangga itu tidak akan
nyaman jika Presiden dan wakilnya memiliki visi yang berbeda. Akan banyak
perbedaan pendapat yang muncul.”
“Jadi, apa visimu?”
Abi memalingkan wajah 45°. Matanya melihat Abdiel
seakan mengamati. “Apa aku harus menjawab ini?”
“Menurutmu?” tanya Abdiel balik.
“Well,”
setelah berpikir beberapa saat Abi buka suara, “visiku menjadi orang yang
selalu dirindukan oleh suami dan anak-anakku.”
Abdiel mengernyit.
“Jadi pergi kemana pun mereka dan sejauh apapun
itu mereka akan merindukanku yang menunggu sehingga akan selalu ingat pulang.”
Binar bangga terlihat di mata Abdiel. Dalam
beberapa hal dia merasa menemukan calon yang tepat. “Itu tidak akan mudah.”
“Tentunya,” sahut Abi. “Lalu kamu, apa misimu?
“Menjadi orang yang selalu merindukanmu,” jawab
Abdiel dengan cengiran khasnya.
Hati Abi bergetar lagi. Meskipun mungkin Abdiel
bercanda, tapi kalimatnya menyentuh ke dasar kalbu gadis ini. Namun Abi tidak
mau Abdiel tahu. Untuk menutupi keanehan itu dia berlagak tak terpengaruh
dengan memutar bola mata.
“Apa masih ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya
Abi sambil berharap dalam hati semoga tidak akan ada pertanyaan lagi.
“Aku rasa untuk sementara, ini sudah cukup.”
Abdiel meraih gelas lemon tea Abi dan mengangkatnya. “Senang berkenalan
denganmu, Abi.”
Abi tersenyum geli melihat Abdiel mengangkat
gelas es lemon tea-nya mengajak salute. Tak ingin kalah aksi dia
mengangkat piring cheesecake-nya,
“Aku juga.”
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar